Ø MAKARA, KESEHATAN, VOL. 13, NO. 2, DESEMBER 2009: 63-68
FAKTOR PENCEGAHAN HIV/AIDS AKIBAT PERILAKU BERISIKO TERTULAR PADA SISWA SLTP
Ø International Journal of HIV/AIDS and Research (IJHR) ISSN: 2379-1586
Tingginya angka HIV/AIDS, hilangnya masa produktif dari penderita berdampak pada kehilangan usia produktif di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perilaku berisiko yang salah satunya terjadi dikalangan anak usia sekolah dan merupakan kelompok rentan tertularnya HIV/AIDS. Berdasarkan fenomena tersebut, tujuan penelitian yang dilakukan adalah menganalisis faktor pencegahan HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP. Desain penelitian menggunakan deskriptif korelasi dan menggunakan rancangan cross sectional. Teknik pengambilan sampel berupa purposive sampling di SLTP X Jakarta yang memenuhi kriteria inklusif. Faktor intrinsik yang meliputi persepsi tentang pemahaman, sikap dan pencegahan HIV/AIDS mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP. Begitu pula dengan faktor ekstrinsik (informasi diperoleh dari luar) yang meliputi informasi orangtua, fasilitas, informasi dengan orang lain dan stigma masyarakat mempunyai hubungan signifikan dengan perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP. Rekomendasi dari penelitian ini adalah peningkatan pengetahuan melalui komunikasi, informasi dan edukasi tentang faktor pencegahan HIV/ AIDS melalui perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP. Hal lain adalah perlunya peningkatan bimbingan dan konseling dari guru serta pendampingan dari orang tua kepada anak.
Indonesia merupakan negara berkembang dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,5% per tahun. Berdasarkan sensus penduduk yang terakhir pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penduduk mencapai lebih dari 206 juta dan sebagian besar penduduk Indonesia hidup di pulau Jawa (59%) khususnya DKI Jakarta. 1 Data BPS menunjukkan jumlah penduduk DKI Jakarta per Juli 2005 sebanyak 7,47 juta orang. DKI Jakarta dan Depok merupakan daerah perkotaan yang padat penduduknya, hampir 25-37% penduduk tinggal di daerah perkotaan. Diperkirakan pada tahun 2020 lebih dari 50% dari penduduk akan tinggal di kota. Penyebabnya karena kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mencari pekerjaan, lengkapnya fasilitas dan teknologi serta kemudahan akses pelayanan kesehatan (hampir 140% ada di sektor perkotaan dan 39% di sektor pedesaan). 3Selain itu Indonesia juga negara yang subur dan kaya sumber daya alam namun sebagian besar rakyat Indonesia tergolong masyarakat miskin. Menurut Oey pada tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. 4 Tahun 2002-2003 terjadi penurunan menjadi 16,0% dan tahun 2004-2005 terjadi kenaikan lagi menjadi 16,7%. Sejak tahun 2006, tingkat kemiskinan nasional meningkat menjadi 17,8% dibandingkan tahun 2002-2005.
Angka kemiskinan pada tahun 1998 antara kota dan desa berbeda 6,3% (desa lebih tinggi dibanding kota). Tahun 2001 selisih menjadi lebih besar yaitu 15,1%. Tetapi pada tahun 2005 selisih angka kemiskinan kota dan desa mengalami penurunan 8,1%. 4 Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat terendah, justru terjadi krisis ekonomi (moneter) pada bulan Agustus 1997.
Padatnya penduduk dan kemiskinan di daerah perkotaan serta kebutuhan ekonomi yang makin meningkat menyebabkan banyak perempuan turut mencari nafkah terutama menjadi pekerja seks komersial karena tidak membutuhkan keterampilan dan uangnya mudah diperoleh. Perilaku seks bebas seperti ini jika tidak diimbangi dengan pemahaman tentang bahaya penyakit sebagai akibat dari perilaku berisiko ini akan menimbulkan mudahnya tertular penyakit berbahaya. Salah satunya adalah infeksi HIV/AIDS yang sampai saat ini makin kompleks dan berada pada situasi yang mengkhawatirkan karena jumlahnya meningkat terus khususnya di daerah perkotaan. Peningkatan yang mengkawatirkan ini terutama jika dibandingkan dengan jumlah pasien dengan penyakit tropis maupun penyakit kronis atau terminal lainnya.
Prevalensi HIV/AIDS di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Sebagai contoh, di Zambia tahun 2001/2002 angka prevalensi penderita HIV/AIDS di daerah perkotaan berbanding pedesaan adalah 4:3. 6 Sedangkan di Indonesia pada 31 Desember tahun 2007 jumlah penderita HIV/AIDS 11.141 kasus per 100.000 penduduk, angka kejadian HIV?AIDS sebanyak 4,91 kasus per 100.000 penduduk. Jawa Barat memiliki jumlah kasus HIV/AIDS 1.675 kasus per 100.000 penduduk, case rate sebanyak 4,28 kasus per 100.000 penduduk.
Upaya yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI dan lembaga-lembaga lainnya dalam mengurangi penderita HIV/AIDS dilakukan melalui edukasi dan promosi yaitu penyuluhan melalui kampanye, media massa, penyebaran leaflet dan kampanya penggunaan kondom. Tetapi upaya tersebut masih saja kurang atau belum menurunkan angka HIV/AIDS. Hal lain yang dilakukan oleh LSM adalah memberdayakan individu penderita HIV/AIDS untuk bisa mandiri dan siap menghadapi kehidupan selanjutnya
TBC
Ø ISSN 1829 – 5118 Vol. 8 - Maret 2012 JURNAL TUBERKULOSIS INDONESIA
Ø PAGES S1–S592 ISSN 1027 3719 VOLUME 18 NUMBER 11 NOVEMBER 2014 SUPPLEMENT 1
The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.1 Prevalensi TB di Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB di masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang definitif. Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaan diagnosis TB adalah berdasarkan pewarnaan tahan asam. Walau demikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikan hasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.4 Kultur memiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis TB karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada pewarnaan tahan asam.5 Kultur Lowenstein-Jensen (LJ) merupakan baku emas metode identifikasi Mycobacterium tuberculosis, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untuk memperoleh hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7 Hal ini tentu saja akan menyebabkan keterlambatan yang bermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.5 Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyak digunakan saat ini adalah metode lama, sehingga diperlukan teknik diagnosis baru, yang dapat mendiagnosis TB dengan lebih cepat dan akurat.
Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabel umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jenis kelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
DBD
Ø FAKTOR RISIKO PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUNTUNG PAYUNG KOTA BANJARBARU (TINJAUAN TERHADAP FAKTOR MANUSIA, LINGKUNGAN, DAN KEBERADAAN JENTIK)
Ø Dengue Hemorrhagic Fever and Natural Disaster: The Case of Padang, West Sumatra
Demam Berdarah Dengue (DBD) yang biasa disebut Dengue Haemorrahagic Fever (DHF) merupakan salah satu dari beberapa penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama negara yang berkembang. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan rata-rata angka kematian akibat DBD mencapai 15% atau 25 ribu orang meninggal setiap tahun. Di Indonesia, masalah DBD muncul sejak tahun 1968 di Surabaya (1). Kasus DBD di Indonesia menyebar ke berbagai daerah. Pada tahun 1980 seluruh provinsi di Indonesia telah terjangkit DBD. Selama tahun 1996-2005 tercatat 334.685 kasus DBD dengan jumlah penderita yang meninggal 3.092 orang. DBD menjadi masalah klasik yang kejadiannya hampir dipastikan muncul setiap tahun terutama pada awal musim hujan (2). Indonesia yang merupakan negara tropik secara umum mempunyai risiko terjangkit penyakit DBD, karena vektor penyebabnya yaitu nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di kawasan pemukiman maupun tempat-tempat umum, kecuali wilayah yang terletak pada ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (3). Serangan penyakit DBD berimplikasi luas terhadap kerugian material dan moral berupa biaya rumah sakit dan pengobatan pasien, kehilangan produktivitas kerja dan yang paling fatal adalah kehilangan nyawa (4). Di Kalimantan Selatan setiap tahunnya selalu terdapat penderita DBD. Pada tahun 2005 terdapat kasus demam berdarah dengan Incidence Rate (IR) = 9,3/100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) 2,6%. Pada tahun 2006 kasus DBD meningkat dengan IR = 12,45/100.000 penduduk dan CFR 1,31%. Kasus tertinggi terjadi di kota Banjarmasin, Banjarbaru dan Kabupaten Banjar (5). Banjarbaru merupakan daerah endemis DBD. Dari data kasus DBD di Dinas Kesehatan Banjarbaru diketahui penderita DBD di Banjarbaru pada tahun 2008 yaitu 53 orang penderita dan 1 orang wafat dengan jumlah penduduk 152.719 jiwa. Angka Insident Rate (IR) yang terjadi di kota Banjarbaru yaitu 33,7/100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) 1,9%. Pada tahun 2009 di kota Banjarbaru terdapat 130 kasus Penderita Demam Berdarah dengan jumlah penderita yang meninggal dunia terbanyak di Kecamatan Guntung Payung sebanyak 7 orang (6). Penyakit DBD dipengaruhi beberapa faktor antara lain: 1). Kebiasaan masyarakat yang menampung air bersih untuk keperluan sehari-hari, 2) Sanitasi lingkungan yang kurang baik, 3) Rumah pemukiman yang padat, 4) Penyediaan air bersih yang kurang, 5) Tidak menggunakan obat nyamuk dan kelambu pada saat tidur, 6) Pengelolaan sampah yang tidak baik 7) Musim penghujan (Fathi, 2005). Berdasarkan model Gordon, faktor yang mempengaruhi kejadian DBD antara lain faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri (7-8). Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk menganalisa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Guntung Payung kota Banjarbaru.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor risiko penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Guntung Payung Kota Madya Banjarbaru yaitu perilaku keluarga, faktor lingkungan serta keberadaan larva Aedes aegypti (Container Index).
MALARIA
Ø MAKARA, KESEHATAN, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 51-57 HUBUNGAN FAKTOR RISIKO INDIVIDU DAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN MALARIA DI PUNDUH PEDADA KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG INDONESIA 2010
Ø International Journal of Insect Science OrIgInAL reSeArch International Journal of Insect Science 2010:2 51 species composition and Role of Anopheles Mosquitoes in Malaria Transmission Along Badagry Axis of Lagos Lagoon, Lagos, nigeria
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi tingginya angka kematian bayi, balita dan ibu hamil. Setiap tahun lebih dari 500 juta penduduk dunia terinfeksi malaria dan lebih dari 1 juta orang meninggal
Kasus terbanyak terdapat di Afrika dan beberapa negara Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa bagian negara Eropa. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih berisiko terhadap malaria. Pada tahun 2007 di Indonesia terdapat 396 Kabupaten endemis dari 495 Kabupaten yang ada, dengan perkiraan sekitar 45% penduduk berdomisili di daerah yang berisiko tertular malaria. Jumlah kasus pada tahun 2006 sebanyak 2 juta orang dan pada tahun 2007 menurun menjadi 1.774.845.
Kesehatan manusia sangat tergantung pada interaksi antara manusia dan aktivitasnya dengan lingkungan fisik, kimia, serta biologi.2 Infeksi malaria dan faktorfaktor yang mempengaruhinya di masyarakat merupakan interaksi dinamis antara faktor host (manusia dan nyamuk), agent (parasit) dan environment.
Faktor risiko individual yang diduga berperan untuk terjadinya infeksi malaria adalah usia, jenis kelamin, genetik, kehamilan, status gizi, aktivitas keluar rumah pada malam hari (perilaku individu) dan faktor risiko kontekstual adalah lingkungan perumahan, keadaan musim, sosial ekonomi, dan lain-lain.
Dalam rangka mengatasi permasalahan penyakit malaria disuatu wilayah endemis, perlu dilakukan dengan pendekatan epidemiologis yang mencakup kondisi lingkungan dan sosial ekonomi penduduknya.
Peningkatan kejadian malaria juga terjadi di Provinsi Lampung yang merupakan daerah endemis malaria. Annual malaria incidence (AMI) Provinsi Lampung 6,62‰ (2002) dan 6,92‰ (2003). Hampir semua kabupaten yang ada di Provinsi Lampung merupakan daerah endemis malaria.6 Kabupaten Pesawaran merupakan daerah endemis malaria yang angka kesakitan malarianya berfluktuasi dari tahun ke tahun. AMI Kabupaten Pesawaran 13,7‰ (2003) dan 13,2‰ (2004) dengan proporsi penderita rawat jalan di seluruh puskesmas di Kabupaten Pesawaran 3,71% (2003) dari sepuluh penyakit terbesar yang rawat jalan ke Puskesmas.7
Saat ini belum diketahui dengan jelas bagaimana sesungguhnya hubungan variabel pada faktor risiko individual dan faktor risiko lingkungan perumahan terhadap terjadinya infeksi malaria di Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui hubungan variabel pada faktor risiko individual dan faktor risiko lingkungan perumahan terhadap terjadinya infeksi malaria di Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
DIARE
Ø FAKTOR KEJADIAN DIARE PADA BALITA DENGAN PENDEKATAN TEORI NOLA J. PENDER DI IGD RSUD RUTENG Factors Correlated With The Incidence Of Diarrhea In Infants with Nola J.Pender Approach in Emergency Room of RSUD Ruteng
Ø International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences ISSN- 0975-1491 Vol 2, Suppl 3, 2010
Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan utama pada balita di Indonesia dan juga merupakan masalah kesehatan paling banyak terjadi pada balita yang berkunjung di IGD Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng setiap tahun. Berbagai upaya penanganan, seperti penyuluhan tentang kebersihan lingkungan, penyuluhan tentang pemilahan sampah dan lain-lain yang selalu dilakukan saat jadwal posyandu serta program kerja bakti dari dinas kesehatan terus dilakukan, namun upayaupaya tersebut masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Angka kematian yang tinggi akibat diare akan berdampak negatif pada kualitas pelayanan kesehatan karena angka kematian anak (AKA) merupakan salah satu indikator untuk menilai derajat kesehatan yang optimal, kurang berhasilnya usaha dalam proses pencegahan diare merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan karena jika upaya pencegahan tidak ditangggulangi dengan baik, maka peningkatan penyakit diare pada balita akan semakin meningkat (Depkes, 2010). Faktor-faktor penyebab diare akut pada balita ini adalah faktor lingkungan, tingkat pengetahuan ibu, sosial ekonomi masyarakat, dan makanan atau minuman yang di konsumsi (Rusepno, 2008). Menurut penelitian Hazel ( 2013), faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten yaitu : bayi berusia kurang atau berat badan lahir rendah (bayi atau anak dengan malnutrisi, anak-anak dengan gangguan imunitas), riwayat infeksi saluran nafas, ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam merawat bayi,tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis, kesehatan dan gizi, baik menyangkut ibu sendiri ataupun bayi, pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta makanan pendamping ASI, pengenalan susu non ASI/ penggunaan susu botol dan pengobatan pada diare akut yang tidak tuntas.
Seseorang dapat menjadi sehat atau sakit akibat dari kebiasaan atau perilaku yang dilakukannya. Kebiasaan yang tidak sehat dapat menunjang terjadinya penyakit, sedangkan kebiasaan yang sehat dapat membantu mencegah penyakit (Soemirat, 2004). Perilaku baru terbentuk, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya sehinggga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut, dan selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui itu, akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan tindakan terhadap stimulus atau objek tersebut (Notoatmodjo, 2012). Seseorang mengabsorpsi perilaku (berperilaku baru), pada awalnya ia harus tahu terlebih
dahulu tahu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Berdasarkan pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Selanjutnya dari pengetahuan tersebut menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui itu. Menurut Beckler dan Wiggins yang dikutip oleh Azwar (2005) sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan tindakan terhadap stimulus atau objek tersebut sehingga terbentuk suatu perilaku hidup individu (Notoatmodjo, 2012). Perilaku ibu yang meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan menentukan dalam pemilihan makanan bergizi, serta menyusun menu seimbang sesuai kebutuhan dan selera keluarga. Sehingga pemenuhan kebutuha gizi balita tergantung pada perilaku ibu (Popularita , 2010). Perilaku ibu dalam pemenuhan kebutuhan gizi berpengaruh terhadap status gizi anak, status gizi yang baik dapat mencegah terjadinya berbagai macam penyakit termasuk juga diare (Budiarti, Wahjurini, & Suryawati, 2011). Kebersihan dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan seseorang. Seseorang mengalami sakit, biasanya masalah kebersihan kurang diperhatikan, hal ini terjadi karena menganggap bahwa masalah kebersihan diri adalah masalah sepele, padahal jika hal tersebut dibiarkan dapat mempengaruhi kasehatan secara umum bisa menyebabkan penyakit seperti diare (Tarwoto dan Wartonah, 2008). Kebersihan lingkungan pada hakekatnya adalah kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap status kesehatan yang optimum.
Ruang lingkup kebersihan lingkungan antara lain mencakup : perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya (Anwar, 2003). Lingkungan yang sanitasinya buruk dapat menjadi sumber berbagai penyakit yang dapat menganggu kesehatan manusia pada akhirnya jika kesehatan terganggu , maka kesejahteraan juga akan berkurang, upaya kebersihan lingkungan menjadi penting dalam meningkatkan kesehatan (Setiawan, 2008). Dua faktor yang dominan yang mempengaruhi terjadinya diare yaitu: sarana air bersih dan pembuangan tinja, kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare (Azwar, 2006). Tingkat pengetahuan yang rendah tentang diare, seorang ibu cenderung kesulitan untuk melindungi dan mencegah balitanya dari penularan diare. Pengetahuan yang rendah ini menyebabkan masyarakat mempunyai pandangan tersendiri dan berbeda terhadap penyakit diare. Pengetahuan yang rendah tentang diare, pencegahan dan tindakan bila anak mengalami diare. Personal higiene atau kebersihan diri adalah upaya seseorang dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperoleh kesejahteraan fisik dan psikologis (Wahit Iqbal, 2008). Kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar merupakan kebiasaan yang dapat membahayakan balita terutama ketika balita hendak makan.
Tugas epidemiologi penyakit menular
“rangkuman penyakit hiv,tb,dbd,malaria dan eiare”
Oleh
Hadi ashari
N 201 15 059
Kelas B 2015
PROGRAM STUDI KESEHTAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2017
1 Komentar
BalasHapusKelinci99.org Situs Agen Judi Togel Online dan Live Game Terpercaya
- Bonus Deposit 5rb Setiap Hari
- Minimal Deposit Rp 20.000
- Diskon Togel Terbesar Sampai 66%
- Bonus Cashback 5% (Khusus Live Game)
- Bonus Referral 1% ( Tanpa Batas )
- Berapapun Kemenangan Anda Pasti Kami Bayarkan 100%
- Anda Akan diLayani Selama 24 Jam Non Stop
Kenyamanan dan Kepuasan Anda Menjadi Prioritas Utama Kami, Semoga Beruntung Bermain Bersama Kami di Kelinci99.org