GIZI
KESEHATAN MASYARAKAT
Kekurangan
Vitamin A
1.
Pengertian,
prevalensi dan indikator KVA
A. Pengertian Kekurangan Vitamin A
Kekurangan vitamin A ialah penyakit sistemik
yang merusak sel dan organ tubuh dan menyebabkan metaplasia keratinisasi pada
epitel saluran pernapasan, saluran kemih, dan saluran pencernaan. Perubahan
pada ketiga saluran ini relatif awal terjadi karena kerusakan yang terdeteksi
pada mata. Namun, karena hanya mata yang mudah diamati dan diperiksa, diagnosis
klinis yang spesifik didasarkan pada pemeriksaan mata (Arisman, 2009).
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan
gangguan kekurangan vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi
bola mata dan gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan. Kata
Xeroftalmia (bahasa Latin) berarti “mata kering”, karena terjadi kekeringan
pada selaput lendir (konjungtiva) dan selaput bening (kornea) mata. (Depkes, 2003).
Kekurangan vitamin A adalah suatu keadaan di
mana simpanan vitamin A dalam tubuh berkurang. Pada tahap awal ditandai dengan
gejala rabun senja, atau kurang dapat melihat pada malam hari. Nama penyakit
tersebut adalah hemeralopia (rabun senja/ rabun ayam). Gejala tersebut juga
ditandai dengan menurunnya kadar serum retinol dalam darah (kurang dari 20
µg/dl). Pada tahap selanjutnya terjadi kelainan jaringan epitel dari organ
tubuh seperti paru-paru, usus, kulit dan mata. Gambaran yang khas dari
kekurangan vitamin A dapat langsung terlihat pada mata (Depkes, 2005).
B. Prevalensi Kekurangan Vitamin A
Kekurangan vitamin A atau KVA merupakan salah
satu masalah gizi yang ada di negara berkembang. Asia Tenggara memiliki
prevalensi KVA balita tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain seperti
Afrika, Amerika, Eropa, Timur Tengah dan Pasifik Barat. Di Indonesia masalah
kekurangan vitamin A pada tahun 2011 sudah dapat dikendalikan, namun secara
subklinis prevalensi kekurangan vitamin A terutama pada kadar serum retinol
dalam darah kurang dari 20µg/dl masih mencapai 0,8% (Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi., 2012)
Menurut (Pratiwi, 2013) Angka prevalensi kejadian kurang vitamin A di
beberapa daerah di Indonesia menurut beberapa survey adalah sebagai berikut :
a. Survei nasional pada xeroftalmia I tahun 1978
menunjukkan angkaangka xeroftalmia di Indonesia sebesar 1,34% atau sekitar tiga
kali lipat lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (X16 <
0,5%).
b. Pada tahun 1992 survei nasional pada
xeroftalmia II dilaksanakan, prevalensi KVA mampu diturunkan secara berarti
dari 1,34% menjadi 0,33%. Namun secara subklinis, prevalensi KVA terutama pada
kadar serum retinol dalam darah (< 20 mcg/100 ml) pada balita sebesar 50%,
ini menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya
xeropthalmia dan menurunnya tingkat kekebalan tubuh sehingga mudah terserang
penyakit infeksi, dikutip dalam Azwar, 2004 dalam jurnal (Pratiwi, 2013). Akibatnya menjadi sangat tergantung dengan
kapsul vitamin A dosis tinggi.
c. Menurut hasil survey pemantauan status gizi
dan kesehatan tahun 1998-2002, yang menunjukkan bahwa sampai tahun 2002,
sekitar 10 juta (50%) anak Indonesia terancam kekurangan vitamin A, karena
tidak mengkonsumsi makanan mengandung vitamin A secara cukup.
d. Defisiensi vitamin A diperkirakan mempengaruhi
jutaan anak di seluruh dunia. Sekitar 250.000-500.000 anak-anak di negara
berkembang menjadi buta setiap tahun karena kekurangan vitamin A, dengan
prevalensi tertinggi di Asia Tenggara dan Afrika. Dengan tingginya prevalensi
kekurangan vitamin A, WHO telah menerapkan beberapa inisiatif untuk
suplementasi vitamin A di negara-negara berkembang. Beberapa strategi termasuk
asupan vitamin A melalui kombinasi pemberian ASI, asupan makanan, fortifikasi
makanan, dan suplemen. Melalui upaya WHO dan mitra-mitranya, yang diperkirakan
1,25 juta kematian sejak 1998 di 40 negara karena kekurangan vitamin A telah
dihindari.
e.
Sementara
itu pada Mei 2003 berdasarkan data WHO ditemukan bahwa hingga kini masih
ditemukan 3 propinsi yang paling banyak kekurangan vitamin A yaitu: Propinsi
Sulawesi Selatan tingkat prevalensi hingga 2,9%, propinsi Maluku 0,8% dan
Sulawesi Utara sebesar 0,6%.
Kekurangan vitamin A adalah masalah utama anak
balita di negara berkembang, menjadi penyebab kebutaan yang paling umum yang
dapat dicegah, tabel menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin A di berbagai
wilayah di dunia. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan gangguan respon
imun dalam defisiensi vitamin A menyebabkan kematian anak yang signifikan.
Sejumlah percobaan suplementasi kekurangan vitamin A di daerah endemik
menunjukkan penurunan 20% hingga 35% pada kematian anak. (Bender, 2003)
Tabel Prevalensi Kekurangan Vitamin A pada
anak balita sebagai berikut:
Wilayah WHO
|
Defisiensi subklinis
|
Defisiensi Klinis
|
||
Juta
|
%Prevalensi
|
Juta
|
&Prevalensi
|
|
Afrika
|
49
|
45,8
|
1,08
|
1,0
|
Amerika
|
17
|
21,5
|
0.06
|
0,1
|
Asia
tenggara
|
125
|
70,2
|
1,3
|
0,7
|
Eropa
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Mediterania
timur
|
23
|
31,5
|
0,16
|
0,3
|
Pasifik
Barat
|
42
|
30
|
0,1
|
0,1
|
Total
|
256
|
40,3
|
2,7
|
0,1
|
WHO, dikutip dalam (Bender, 2003)
C. Indikator Kekurangan Vitamin A
Menurut WHO/USAID UNICEF/HKI/IVACG, 1996 dikutip
dalam (Bender, 2003). Untuk mengetahui adanya KVA, indikatornya
adalah klasifikasi Xerophtalmia, yaitu antara lain:
Kode Klasifikasi
|
Gejala Klinis
|
Prevalensi di antara anak-anak
prasekolah untuk menunjukkan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan
|
XN
|
Rabun senja (Night blindness)
|
> 1%
|
X1A
|
xerosis konjungtiva
|
-
|
X1B
|
Xerosis konjungtiva disertai bercak bitot
(Bitot’s spots)
|
> 0,5%
|
X2
|
Xerosis kornea
|
|
X3A
|
Keratomalasia atau ulserasi kornea kurang
dari 1/3 permukaan kornea.
|
> 0,01%
|
X3B
|
Keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih
dari 1/3 permukaan kornea
|
> 0,01%
|
XS
|
Jaringan parut kornea (sikatriks/scar)
|
> 0,05%
|
XF
|
Fundus Xeroftalmia, dengan gambaran seperti
“cendol”.
|
|
Biokimia
|
Retinol plasma <0,35 µmol/L
|
> 5%
|
2.
Gambaran
Klinis KVA
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila
tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih
cepat timbul bila anak menderita penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit
infeksi lainnya. Kelainan kulit pada umumnya tampak pada tungkai bawah bagian
depan dan lengan atas bagian belakang, kulit tampak kering dan bersisik seperti
sisik ikan. Kelainan ini selain disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan
karena kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau Kurang
Energi Protein (KEP) tingkat berat atau gizi buruk. (Depkes, 2003)
Tanda-tanda
dan gejala klinis antara lain:
A.
Buta
senja = Rabun Senja = Rabun Ayam= XN
Retinol penting untuk elaborasi rhodopsin
(Penglihatan remang-remang) oleh batang. Reseptor sensori retina yang
bertanggung jawab untuk penglihatan dalam cahaya tingkat rendah. Oleh karena
itu defisiensi vitamin A dapat menggangu produksi rhodopsin, menggangu fungsi
batang, dan menimbulkan buta senja. (Sommer, 2005)
Menurut
(Depkes, 2003), Tanda-tanda rabun senja, yaitu :
-
Buta
senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina.
-
Pada
keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang
setelah lama berada di cahaya terang
-
Penglihatan
menurun pada senja hari, dimana penderita tak dapat melihat di lingkungan yang
kurang cahaya, sehingga disebut buta senja.
B.
Xerosis
konjungtiva dan bercak Bitot = X1A dan X1B
Epitel konjungtiva pada defisiensi vitamin A
berubah bentuknya dari tipe kolumnar normal menjadi tipe skuamosa bertingkat,
dengan akibat hilangnya sel goblet, pembentukan lapisan sel granular, dan
keratinisasi permukaan. Ini adalah gambaran histopatologis xerosis konjungtiva.
Secara klinis, perubahan ini ditandai dengan kekeringan yang nyata atau hilangnya
kemampuan membasahi mata, daerah yang terkena tampak lebih kasar, disertai
tetesan-tetesan halus atau gelembung pada permukaan, bukan permukaan yang licin
dan mengkilat. (Sommer, 2005)
Xerosis
konjuktiva mula-mula timbul pada kuadran temporal, sebagai suatu potongan yang
kecil oval atau segitiga yang terpencil berbatasan dengan limbus pada fisura
interpalpebral. Ini hampir selalu ada pada kedua mata. Pada beberapa individu,
keratin dan basil saprofit berkumpul pada permukaan xerotik, memberikan suatu
gambaran seperti busa atau kiju.lesi seperti ini dikenal sebagai bercak Bitot.
Bahan yang melapisinya dengan mudah dapat dibersihkan, dan jumlah yang
terbentuk sering bervariasi dari hari ke hari. Bila defisiensi lebih berat,
lesi serupa akan terbentuk juga di kuadran nasal, walaupun kurang mencolok.
Bercak Bitot dapat segera dikenali dan merupakan suatu kriteria klinis yang
berguna untuk penilaian status vitamin A suatu populasi. (Sommer, 2005)
Menurut
(Depkes, 2003), tanda-tanda Xerosis konjungtiva, yaitu:
-
Selaput
lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput,
dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
-
Orang
tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna kecoklatan.
Dalam
keadaan berat :
-
Tampak
kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva.
-
Konjungtiva
tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut.
-
Orang
tua mengeluh mata anaknya tampak bersisik
C.
Xerosis
Kornea = X2
Banyak anak-anak dengan rabun senja (tanpa
menderita xerosis konjungtiva secara klinis) mempunyai lesi pungtata
superfisial yang khas pada inferior-nasal kornea, yang berwarna cemerlang
dengan fluoresensi. Pada awal penyakit, lesi hanya dapat dilihat dengan
menggunakan slit-lamp biomikroskop.
Dengan makin beratnya penyakit, lesi pungtata menjadi lebih banyak, menyebar ke
atas melebihi bagian tengah kornea, dan stroma kornea menjadi bengkak. Secara
klinis, pada kornea terjadi xerosis klasik, dengan penampilan yang kabur, tidak
bercahaya, kering, dan pertama kali tampak dekat limbus inferior. Plak (plaque) yang tebal dan mengalami
keratinisasi menyerupai bercak Bitot dapat terbentuk pada permukaan kornea dan
sering memadat pada daerah interpalpebral. (Sommer, 2005)
Menurut
(Depkes, 2003), tanda-tanda Xerosis Kornea, yaitu:
-
Kekeringan
pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
-
Kornea
tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
-
Keadaan
umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit
infeksi
dan sistemik lain)
D. Ulserasi kornea/keratomalasia (X3A dan X3B)
Ulserasi/keratomalasia menunjukan kerusakan
yang menetap pada suatu bagian atau keseluruhan stroma kornea, menyebabkan
perubahan structural yang menetap. Keratomalasia terlokalisasi adalah suatu
keadaan progresif cepat mengenai seluruh ketebalan dari kornea. Mula-mula
tampak sebagai suatu gundukan atau outpuching dari permukaan kornea yang opak,
berwarna abu-abu sampai kuning. Pada penyakit yang lebih lanjut, terjadi
pengelupasan stroma yang nekrotik dan meninggalkan ulkus yang besar atau
desemetokel. Pada ulkus yang lebih kecil biasanya terletak perifer dan pulih
sebagai leukoma adheren berwarna putih yang padat. Ulserasi/keratomalasia pada
umumnya mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea (X3A) dengan kekecualian
daerah pupil bagian tengah, dan terapi yang cepat biasanya dapat mempertahankan
penglihatan yang cukup baik. Perluasan daerah yang terkena (X3B), terutama
pencairan nekrosis yang menyeluruh. Biasanya menyebabkan perforasi, pendorongan
keluar isi intraocular, dan hilangnya bola mata. (Sommer, 2005)
Menurut (Depkes, 2003), Tanda-tanda Ulserasi kornea/keratomalasia,
yaitu:
-
Kornea
melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus.
-
Tahap
X3A : bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea.
-
Tahap
X3B : Bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3 permukaan kornea.
-
Keadaan
umum penderita sangat buruk.
-
Pada
tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah)
E.
Sikatriks
(jaringan parut) kornea = Xeroftalmia scar (XS)
Gejala sisa yang terjadi setelah sembuh dari
penyakit kornea terdahulu yang berkaitan dengan defisiensi vitamin A termasuk
opasitas atau jaringan parut dengan bermacam-macam densitas/kepadatan (nebula,
macula dan leukoma, kelemahan dan outpouching (penonjolan) lapisan kornea yang
tersisa dan desemetokel, apabila telah terjadi hilangnya isi intraocular,
ptisis bulbi, suatu pengerutan bola mata yang telah menjadi jaringan parut.
Lesi stadium akhir seperti ini tidak khas untuk xerophthalmia dan dapat timbul
dari sejumlah keadaan lainnya, terutama trauma dan infeksi. (Sommer, 2005)
Kornea mata tampak menjadi putih atau bola
mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan
bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah
tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea. (Depkes, 2003)
F.
Xeroftalmia
Fundus (XF)
Lesi
retina yang putih kecil pada beberapa kasus defisiensi vitamin A. Hal ini
mungkin disertai oleh penyempitan lapangan pandang dan sebagian besar akan
hilang dalam waktu 2-4 bulan akibat respons pada terapi vitamin A. (Sommer, 2005)
3.
Etiologi
KVA
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang
menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau Gizi buruk sebagai akibat asupan zat
gizi sangat kurang, termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. Anak yang
menderita KVA mudah sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan
akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lain karena daya tahan anak tersebut
menurun. Namun masalah KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan
cukup. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua/ibu tentang gizi
yang baik. Gangguan penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun
hal ini sangat jarang terjadi. Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang
berkepanjangan akan menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi karena
kemiskinan, dimana keluarga tidak mampu memberikan makan yang cukup. (Arisman, 2009)
Bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya
cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar
serum vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan
metabolik bagi mata.Vitamin A diperlukan retina mata untuk pembentukan rodopsin
dan pemeliharaan diferensiasi jaringan epitel. Gangguan gizi kurang vitamin A
dijumpai pada anak-anak yang terkait dengan : kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya
asupan makanan sumber vitamin A dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak diberi
kolostrum dan disapih lebih awal, pemberian makanan artifisial yang kurang
vitamin A. Pada anak yang mengalami kekurangan energi dan protein, kekurangan
vitamin A terjadi selain karena kurangnya asupan vitamin A itu sendiri juga
karena penyimpanan dan transpor vitamin A pada tubuh yang terganggu. (Arisman, 2009)
Kelompok umur yang terutama mudah mengalami
kekurangan vitamin A adalah kelompok bayi usia 6-11 bulan dan kelompok anak
balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun). Sedangkan yang lebih berisiko menderita
kekurangan vitamin A adalah bayi berat lahir rendah kurang dari 2,5 kg, anak
yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun,
anak yang tidak mendapat makanan pendamping ASI yang cukup, baik mutu maupun
jumlahnya, anak kurang gizi atau di bawah garis merah pada KMS, anak yang
menderita penyakit infeksi (campak, diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan, anak
dari keluarga miskin, anak yang tinggal di dareah dengan sumber vitamin A yang
kurang, anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi di
posyandu maupun puskesmas, serta anak yang kurang/jarang makan makanan sumber
vitamin A. (Kemenkes,
2015)
Terjadinya kekurangan vitamin A berkaitan
dengan berbagai faktor dalam hubungan yang kompleks seperti halnya dengan
masalah kekurangan kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A
biasanya juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antara hal-hal ini
merupakan faktor penting dalam terjadinya kekurangan vitamin A. (Depkes, 2005)
Kekurangan vitamin A bisa disebabkan seorang
anak kesulitan mengonsumsi vitamin A dalam jumlah yang banyak, kurangnya
pengetahuan orang tua tentang peran vitamin A dan kemiskinan. Sedangkan untuk
mendapatkan pangan yang difortifikasi bukan hal yang mudah bagi penduduk yang
miskin. Karena, harga pangan yang difortifikasi lebih mahal daripada pangan
yang tidak difortifikasi. (Depkes, 2005)
Penyebab lain KVA pada balita dikarenakan
kurang makan sayuran dan buah-buahan berwarna serta kurang makanan lain sumber
vitamin A seperti: daun singkong, bayam, tomat, kangkung, daun ubi jalar,
wortel, daun pepaya, kecipir, daun sawi hijau, buncis, daun katu, pepaya,
mangga, jeruk, jambu biji, telur ikan dan hati. Akibatnya menurun daya tahan
tubuh terhadap serangan penyakit. (Depkes, 2005)
Menurut (Kemenkes,
2015) Penyebab Kekurangan Vitamin A, sebagai
berikut:
4.
Konsekuensi
KVA
Meskipun konsekuensi kesehatan dari KVA tidak
digambarkan dengan baik di atas anak usia dini, namun data terakhir menunjukkan
bahwa KVA pada wanita usia reproduksi dapat meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian selama kehamilan dan periode
awal postpartum. KVA yang berat pada maternal juga memberikan kerugian bagi
anak baru lahir karena dapat akibatkan peningkatan kematian dibulan pertama
kehidupan. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya pemahaman tentang KVA maka sangat penting bahwa beban kesehatan
yang dihasilkan dikuantifikasi setepat mungkin, sebagai dasar tindakan dan
pemantauan serta evaluasi program pencegahan selanjutnya. Kemajuan telah
dilakukan selama 4 dekade terakhir dalam memperkirakan beban KVA, terutama dengan menggabungkan dan
mengekstrapolasikan data prevalensi dari negara dimana telah dikumpulkan dalam
populasi dengan profil demografis yang sama dan risiko yang telah diantisipasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, KVA telah diperkirakan mempengaruhi antara 75
dan 254 juta anak prasekolah setiap tahun, jauh dari jarak yang akurat. Tidak ada perkiraan permasalahan
kesehatan global KVA ibu atau adanya insidensi tahunan kebutaan malam ibu (XN) (Akhtar,
Ismail, Atukorala, & Arlappa, 2013)
Seseorang dengan defisiensi vitamin A
marginal. Pada observasi bahwa selama terjadi kekurangan vitamin A, cadangan
dalam hati menurun, RBP berakumulasi dalam hati sebagai apo-RBP. Setelah
pemberian vitamin A test dose, sebagian vitamin A mengikat kelebihan apoRBP
dalam hati. Kemudian keluar sebagai holo-RBP (RBP berikatan dengan retinol) ke
dalam aliran darah. Konsekuensinya pada orang yang mengalami KVA menjadi lebih
cepat terjadi peningkatan serum retinol setelah pemberian vitamin A test dose dibandingkan dengan orang yang
mempunyai cadangan vitamin A normal di mana peningkatannya hanya sedikit atau
malah tidak ada. (Permaesih,
2008)
5.
Pencegahan
dan penanggulangan KVA di Indonesia
a. Pencegahan
Menurut (Depkes, 2003). Untuk mencegah xeroftalmia dapat dilakukan,
sebagai berikut:
a. Mengenal wilayah yang berisiko mengalami
xeroftalmia (faktor social budaya dan lingkungan dan pelayanan kesehatan,
faktor keluarga dan faktor individu)
b. Mengenal tanda-tanda kelainan secara dini
c. Memberikan vitamin A dosis tinggi kepada bayi
dan anak secara periodik, yaitu untuk bayi diberikan setahun sekali pada bulan
Februari atau Agustus (100.000 SI), untuk anak balita diberikan enam bulan
sekali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus dengan dosis 200.000 SI.
d. Mengobati penyakit penyebab atau penyerta
e. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk
f.
Penyuluhan
keluarga untuk meningkatkan konsumsi vitamin A / provitamin A secara terus
menerus.
g. Memberikan ASI Eksklusif
h. Pemberian vitamin A pada ibu nifas (< 30
hari) 200.000 SI
i.
Melakukan
imunisasi dasar pada setiap bayi.
Agar xeroftalmia tidak terjadi ulang
diperlukan penyuluhan untuk masyarakat dan keluarga, karena kejadian
xeroftalmia tidak lepas dari lingkungan, keadaan sosial ekonomi, pendidikan dan
pengetahuan orang tua (terutama ibu).
Menurut (Depkes, 2003). Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan
sehubungan dengan hal tersebut diatas adalah :
a.
Komunikasi
Informasi dan Edukasi (Kie) atau Promosi
a)
Tujuan
Umum :
-
KIE
atau promosi bertujuan agar program penanggulangan masalah KVA untuk mencegah
Xeroftalmia mendapat perhatian masyarakat.
b)
Tujuan
Khusus :
-
Agar
pemerintah daerah dan sektor lain mendukung pelaksanaan deteksi dan talalaksana
kasus Xeroftalmia.
-
Agar
tenaga kesehatan melaksanakan deteksi dan tatalaksana kasus Xeroftalmia di
institusi masing-masing (Puskesmas, Rumah Sakit, BKMM, Dinas Kesehatan
Propinsi/Kabupaten).
-
Agar
masyarakat berpartisipasi dalam upaya pencegahan kasus Xeroftalmia.
c)
Sasaran
Dalam melaksanakan kegiatan KIE atau promosi sasaran
dibedakan menjadi:
-
Sasaran
primer (Ibu balita, keluarga dan masyarakat umum)
-
Sasaran
sekunder (pengelola program)
-
Sasaran
tertier ( penentu kebijakan, pengambil keputusan dan pemerintah daerah)
d)
Strategi
Strategi KIE pencegahan Xeroftalmia dapat dilakukan
melalui pendekatan sebagai berikut :
1)
Advokasi
: Berupa lobi, pendekatan dan lain-lain bentuk yang disertai dengan
penyebarluasan informasi. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kepedulian
dan tanggung jawab para pengambil keputusan dan penentu kebijakan dan
pemerintah daerah mengenai masalah KVA dan dampaknya.
2)
Sosialisasi
: Sosialisasi program penanggulangan xeroftalmia perlu dilakukan terhadap
petugas kesehatan di Puskesmas, Rumah Sakit atau institusi pelayanan kesehatan
lainnya agar terjalin kerjasama lintas program maupun lintas sektoral dalam
pelaksanaan deteksi dan tatalaksana kasus Xeroftalmia.
3)
Bina
Suasana : Dilakukan melalui forum komunikasi. Forum komunikasi ini bermanfaat
sebagai wahana yang mendukung terlaksananya kegiatan KIE di berbagai sector
yang terkait dalam kegiatan deteksi dan tatalaksana kasus Xeroftalmia.
4)
Gerakan
Masyarakat : Dilakukan melalui kampanye. Kegiatan ini dilakukan guna
memberdayakan keluarga dan masyarakat dalam program penanggulangan KVA/deteksi
dan tatalaksana kasus Xeroftalmia.
5)
Konseling/konsultasi
gizi : Kegiatan konseling/konsultasi gizi dilakukan oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas dan Rumah Sakit pada sasaran ibu anak. Kegiatan ini dilakukan agar
ibu balita dapat memahami masalah xeroftalmia pada anaknya, cara pencegahan dan
penanggulangannya.
b.
Suplementasi
Dalam upaya pencegahan kasus xeroftalmia
melalui suplementasi vitamin A diperlukan perbaikan manajemen distribusi
melalui program dan pengembangan swadaya masyarakat dalam wujud kemandirian
penyediaan kapsul vitamin A yang dibutuhkan. Melalui penyediaan vitamin A
mandiri nantinya diharapkan akan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab
masyarakat terhadap masalah KVA khususnya xeroftalmia yang ada di masyarakat.
Disamping itu hal tersebut akan dapat mengurangi beban keuangan pemerintah
untuk penyediaan kapsul vitamin A.
c.
Fortifikasi
Kegiatan fortifikasi dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun swasta melalui upaya memproduksi bahan makanan kaya vitamin A
yang dikonsumsi masyarakat luas. Pemerintah dalam hal ini perlu menyediakan
sarana yang memadai dan perangkat peraturan perundangan yang dapat mendorong
produsen bahan makanan berperan aktif dalam kegiatan fotifikasi vitamin A.
Disamping itu adanya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi bahan makanan
alami dan produk bahan makanan sumber vitamin A akan sangat membantu kegiatan
fortifikasi vitamin A dan secara tidak langsung berpartisipasi dalam pencegahan
xeroftalmia di masyarakat.
d. Penanggulangan KVA di Indonesia
Menurut (Depkes, 2003), penanggulangan Kekurangan vitamin A, yaitu
antara lain:
1.
Jadwal
dan Dosis Pemberian Kapsul Vitamin A pada anak penderita Xeroftalmia, yaitu:
Gejala
|
Hari
1
|
Hari
2
|
Hari
ke 15 (minggu ke II)
|
XN (buta senja), atau XIA (Xerosis
konjungtiva) tanpa pernah sakit
campak 3 bulan terakhir
|
Beri kapsul vitamin
A dengan dosis
sesuai umur
|
-
|
-
|
Ada salah satu gejala - XIB (bercak
Bitotnanah/radang- kornea keruh- ulkus kornea pernah sakit campak
dalam 3 bulan terakhir
|
Beri kapsul vitamin
A dengan dosis sesuai umur |
Beri kapsul vitamin
A dengan dosis sesuai umur |
Beri kapsul vitamin
A dengan dosis sesuai umur |
Umur
|
Dosis
|
||
< 6 Bulan
|
3 x 50.000 SI (1/2 kapsul biru)
|
||
6-11 Bulan
|
100.000 SI (1kapsul biru)
|
||
1-5
|
200.000 SI (1 kapsul merah)
|
2.
Pemberian
Obat Mata
Pada bercak Bitot tidak memerlukan obat tetes
mata, kecuali ada infeksi yang menyertainya. Obat tetes/salep mata antibiotik
tanpa kortikosteroid (Tetrasiklin 1%, Khloramfenikol 0.25-1% dan Gentamisin
0.3%)diberikan pada penderita X2, X3A, X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari dan
berikan juga tetes mata atropin 1 % 3 x 1 tetes/hari. Pengobatan dilakukan
sekurang-kurangnya 7 hari sampai semua gejala pada mata menghilang. Mata yang
terganggu harus ditutup dengan kasa selama 3-5 hari hingga peradangan dan
iritasi mereda. Gunakan kasa yang telah dicelupkan kedalam larutan Nacl 0,26
dan gantilah kasa setiap kali dilakukan pengobatan. Lakukan tindakan pemeriksaan
dan pengobatan dengan sangat berhati-hati. Selalu mencuci tangan pada saat
mengobati mata untuk menghindari infeksi sekunder, Segera rujuk ke dokter
spesialis mata untuk mendapat pengobatan lebih lanjut
3.
Terapi
Gizi Medis
A. Pengertian Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis adalah terapi gizi khusus
untuk penyembuhan kondisi atau penyakit kronis dan luka-luka serta merupakan
suatu penilaian terhadap kondisi pasien sesuai intervensi yang diberikan agar
klien serta keluarganya dapat meneruskan penanganan diet yang telah disusun.
B. Tujuan :
-
Memberikan
makanan yang adekuat sesuai kebutuhan untuk mencapai status gizi normal.
-
Memberikan
makanan tinggi sumber vit. A. untuk mengoreksi kurang vitamin A
C. Syarat :
a. Energi
Energi diberikan cukup untuk mencegah
pemecahan protein menjadi sumber energi dan untuk penyembuhan. Pada kasus gizi
buruk, diberikan bertahap mengikuti fase stabilisasi, transisi dan
rehabilitasi, yaitu 80-100 kalori/kg BB, 150 kalori/ kg BB dan 200 kalori/ kg
BB.
b. Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya
dalam pembentukan Retinol Binding Protein dan Rodopsin. Pada gizi buruk
diberikan bertahap yaitu : 1-1,5 gram/kg BB/hari ; 2-3 gram/kg BB/hari dan 3-4 gram/kg
BB/hari.
c. Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin
A optimal. Pemberian minyak kelapa yang kaya akan asam lemak rantai sedang (MCT=Medium
Chain Tryglycerides). Penggunaan minyak kelapa sawit yang berwarna merah
dianjurkan, tetapi rasanya kurang enak.
d. Vitamin A
Diberikan tinggi untuk mengoreksi defisiensi.
Sumber vitamin A yaitu ikan, hati, susu, telur terutama kuning telur, sayuran
hijau (bayam, daun singkong, daun katuk, kangkung), buah berwarna merah,
kuning, jingga (pepaya, mangga dan pisang raja ), waluh kuning, ubi jalar
kuning, Jagung kuning.
e. Bentuk makanan
Mengingat kemungkinan kondisi sel epitel
saluran cerna juga telah mengalami gangguan, maka bentuk makanan diupayakan
mudah cerna.
f.
Besar
porsi dan jadwal makan
D. Pengobatan penyakit infeksi atau sistemik yang
menyertai
Anak-anak
yang menderita xeroftalmia biasanya disertai penyakit berat antara lain:
infeksi saluran nafas, pnemonia, campak, cacingan, tuberkulosis (TBC), diare
dan mungkin dehidrasi.
E. Pemantauan dan Respon Pengobatan dengan kapsul
vitamin A
XN
|
Reaksi
pengobatan terlihat dalam 1-2 hari setelah diberikan kapsul vitamin A.
|
X1A
& X1B
|
Tampak
perbaikan dalam 2-3 hari, dan gejala-gejala menghilang dalam waktu 2 minggu.
|
X2
|
Tampak
perbaikan dalam 2-5 hari, dan gejala gejala menghilang dalam waktu 2-3
minggu.
|
X3A
& X3B
|
Penyembuhan
lama dan meninggalkan cacat mata. Pada tahap ini penderita harus
berkonsultasi ke dokter spesialis mata Rumah Sakit/BKMM agar tidak terjadi
kebutaan.
|
F.
Rujukan
-
Anak
segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda-tanda kelainan XN, X1A, X1B,
X2.
-
Anak
segera dirujuk ke dokter Rumah Sakit/ Spesialis Mata/BKMM bila ditemukan
tanda-tanda kelainan mata X3A, X3B, XS.
Daftar Pustaka
Akhtar, S.,
Ismail, T., Atukorala, S., & Arlappa, N. (2013). Micronutrient deficiencies
in South Asia - Current status and strategies, 31(MARCH), 55–62.
https://doi.org/10.1016/j.tifs.2013.02.005
Arisman. (2009). Gizi
dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Bender, D. A. (2003).
Nutritional Biochemistry of the Vitamins (2nd ed.). New York: Cambridge
University Press.
Depkes, R. (2003). Deteksi
dan tatalaksana kasus xeroftalmia : pedoman bagi tenaga kesehatan. Jakarta,
indonesia: Departemen Kesehatan Ri, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat dan Direktorat Gizi Masyarakat. https://doi.org/Dalam Terbitan.
Departemen Kesehatan R.I
Depkes, R. (2005). Pedoman
Pemberian Kapsul Vitamin A Dosis Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Gizi Masyarakat.
Kemenkes, R. (2015). Situasi
Kesehatan Anak Balita di Indonesia. Jakarta: InfoDATIN.
Permaesih, D. (2008).
Penilaian status vitamin A. Gizi Indonesia, 31(2), 92–97.
Pratiwi, Y. S.
(2013). Kekurangan Vitamin A (KVA) dan Infeksi. The Indonesian Journal Of
Health Science, 3(2), 207–210.
Sommer, A. (2005). Defisiensi
Vitamin A dan Akibatnya (Edisi 3). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi. (2012). Ketahanan Pangan dan Gizi, di Era Otonomi Daerah
dan Globalisasi. Jakarta: LIPI
0 Komentar