Konsep Acceptable Daily Intake (ADI) Dalam Penentuan Pemaparan Jangka Panjang Senyawa Toksik Dalam Air


A.   Konsep Acceptable Daily Intake (ADI) Dalam Penentuan  Pemaparan Jangka Panjang Senyawa Toksik Dalam Air
Istilah asupan harian yang dapat diterima (Acceptable Daily Intake = ADI) oleh Komite gabungan FAO dan WHO mengenai zat tambahan makanan pada tahun 1991. Selanjutnya digunakan untuk uji toksikologik dan reevaluasinya terhadap sejumlah besar zat tambahan yang meninggalkan residu dan zat kimia dalam makanan.
ADI didefinisikan sebagai ”besarnya asupan harian suatu zat kimia yang bila dikonsumsi seumur hidup, tampaknya tanpa risiko berarti berdasarkan semua fakta yang diketahui pada saat itu. ADI ini dinyatakan dalam miligram zat kimia per kilogram berat badan (mg/kg).”
Apabila terdapat data yang sesuai dari studi terhadap hewan percobaan atau epidemiologi tentang toxitas dari senyawa polutan yang ada dalam air minum, maka untuk menentukan standar konsentrasi dari tiap-tiap senyawa polutan tersebut dapat menggunakan konsep ADI (Acceptable Daily Intake) yakni jumlah total senyawa kimia (polutan) yang masuk (yang dikonsumsi) kedalam tubuh manusia perhari.
ADI dari suatu senyawa kimia didefinisikan sebagai dosis yang diperkirakan tidak menimbulkan resiko jangka panjang apabila senyawa tersebut dikonsumsi atau masuk kedalam tubuh tiap hari, akan tetapi ADI bukanlah merupakan garansi keamanan secara mutlak, dan juga bukan merpakan suatu perkiraan resiko. Pengandaian terhadap satu nilai ambang batas terhadap tiap individu didalam jumlah penduduk yang besar adalah merupakan penyederhanaan. Penduduk secara genetik adalah heterogen dengan sejarah pemaparan, kondisi penyakit sebelumnya, kondisi nutrisi dan kondisi lainnya yang berbeda.
Oleh karena itu, setiap individu mempunyai nilai ambang batas yang unik. Untuk individu tertentu dalam suatu populasi mungkin mempunyai resiko yang tinggi, dan individu lainnya mempunyai kemungkinan mendapatkan resiko yang rendah. Konsep ADI ini juga kurang sesuai untuk pemakaian senyawa lipophilic dan logam berat yang cenderung terjadi proses bioakumulasi. ADI biasanya diturunkan dari analisis secara detail terhadap sifat peracunan dari suatu senyawa kimia yang telah diuji. Tingkat konsentrasi maksimum tanpa memberikan pengaruh yang buruk (no observed adverse effect level disingkat NOAEL) dari suatu senyawa kimia, ditentukan untuk pengaruh buruk yang lebih sensitif pada sistem pengujian, biasanya terhadap binatang atau kadag-kadang terhadap manusia, dan factor keamanan atau ketidak pastian digukan kepada dosis NOAEL untuk menetapkan dosis yang aman terhadap populasi penduduk atau manusia secara umum. Untuk menetapkan ADI yakni dengan cara mengalikan NOAEL hasil ekperimen (mg/kg/hari) dengan berat badan orang dewasa (70 kg) dan dibagi dengan faktor keamanan atau faktor ketidak-pastian.
Oleh karena ADI adalah merupakan total intake (pemasukan) senyawa kimia racun harian dari berbagai macam sumber yakni dari air minum, makanan, dan juga udara atau lainnya, maka untuk menentukan konsentrasi senyawa polutan dalam air minum yang diijinkan dengan asumsi tiap orang dewasa mengkonsumsi 2 liter air minum per hari, harga akhir konsentarsi harus dibagi dengan faktor 2.
Hasil perhitungan tersebut biasanya digunakan untuk penentuan pemaparan jangka panjang senyawa kimia racun kronis yang diijinkan yang berasal dari air minum. Dalam beberapa kasus yang berkenaan dengan pemaparan jangka pendek terhadap anak-anak, yang mana kemungkinan mempunyai resiko yang lebih besar karena ratio konsumsi air minum terhadap berat badan mempunyai harga yang lebih besar, USEPA menetapkan standar perhitungan pemaparan individual dengan menggunakan asumsi berat badan anak 10 kg dan konsumsi air minum 1 liter per hari, serta menggunakan faktor keamanan 3,5. Ada juga cara lain umtuk menentukan konsentrasi ADI yakni dengan konversi dosis berdasarkan luas permukaan tubuh (mg/M2 luas) sebagai ganti dari berat badan. Korelasi tersebut kemungkinan lebih sesuai untuk ekstrapolasi dari binatang kecil (misalnya tikus) terhadap manusia dibandingkan dengan apabila data percobaan terhadap anjing atau kera.
Referensi:
Pertemuan Ke 6
A.   Strategi Pengelolahan Air Limbah Komunal dan Non Komunal
1.    IPAL Komunal
Sistem Sanitasi Terpusat (off site sanitation) merupakan sistem pembuangan air buangan rumah tangga (mandi, cuci, dapur, dan limbah kotoran) yang disalurkan keluar dari lokasi pekarangan masing-masing rumah ke saluran pengumpul air buangan dan selanjutnya disalurkan secara terpusat ke bangunan pengolahan air buangan sebelum dibuang ke badan perairan.
IPAL komunal adalah pengelolahan limbah seperti limbah WC, air cuci ataupun dari air kamar mandi. IPAL Komunal merupakan sistem pengelolaan air limbah yang dilakukan secara terpusat Namun IPAL komunal ini digunakan secara bersama-sama komponen IPAL komunal juga terdiri atas unit pengelolah limbah. Terdapat juga jaringan perpipaan yaitu bak control dan juga lubang perawatan, kemudian ada juga sambungan rumah tangga agar lebih aman pada saat dibuang dan sesuai dengan baku mutu lingkungan.
Sistem ini dilakukan untuk menangani limbah domestik pada wilayah yang tidak memungkinkan untuk dilayani oleh sistem terpusat ataupun secara individual. Penanganan dilakukan pada sebagian wilayah dari suatu kota, dimana setiap rumah tangga yang mempunyai fasilitas MCK pribadi menghubungkan saluran pembuangan ke dalam sistem perpipaan air limbah untuk dialirkan menuju instalasi pengolahan limbah komunal. Untuk sistem yang lebih kecil dapat melayani 2-5 rumah tangga, sedangkan untuk sistem komunal dapat melayani 10-100 rumah tangga atau bahkan dapat lebih. Effluent dari instalasi pengolahan dapat disalurkan menuju sumur resapan atau juga dapat langsung dibuang ke badan air (sungai). Fasilitas sistem komunal dibangun untuk melayani kelompok rumah tangga atau MCK umum. Bangunan pengolahan air limbah ini dapat diterapkan di perkampungan dimana tidak memungkinkan bagi warga masyarakatnya untuk membangun septictank individual di rumahya masing-masing.
Manfaat IPAL komunal ini memiliki banyak manfaat di antaranya adalah perlaku atau gaya hidup masyarakat bisa menjadi semakin sehat, mengelolah air limbah domestik ataupun air limbah industri supaya air tersebut nantinya bisa digunakan kembali sesuai dengan kebutuhan masing-masing, supaya air limbah yang akan dialirkan tidak tercemar lagi dan agar biota-biota yang ada disungai tidak mati karena banyaknya bahan kimia yang ada dilimbah tersebut.
2.    IPAL Komunal Non Komunal
Sistem sanitasi setempat (on-site sanitation) adalah sistem pembuangan air limbah dimana air limbah tidak dikumpulkan serta disalurkan ke dalam suatu jaringan saluran yang akan membawanya ke suatu tempat pengolahan air buangan atau badan air penerima, melainkan dibuang di tempat. Sistem ini di pakai jika syarat-syarat teknis lokasi dapat dipenuhi dan menggunakan biaya relatif rendah. Sistem ini sudah umum karena telah banyak dipergunakan di Indonesia.
Kelebihan sistem ini adalah:
a.    Biaya pembuatan relatif murah.
b.    Bisa dibuat oleh setiap sektor ataupun pribadi.
c.    Teknologi dan sistem pembuangannya cukup sederhana.
d.    Operasi dan pemeliharaan merupakan tanggung jawab pribadi.
Disamping itu, kekurangan sistem ini adalah:
a.    Umumnya tidak disediakan untuk limbah dari dapur, mandi dan cuci.
b.     Mencemari air tanah bila syarat-syarat teknis pembuatan dan pemeliharaan tidak dilakukan sesuai aturannya.
Referensi:
Pertemuan Ke 7
A.    Tahapan Pengelolahan Air Limbah Secara Sistematis Dan Mendeksripsikan Tujuan Setiap Tahapan Pengelolaan.
1.    Pengolahan Awal (Pretreatment)
Tahap ini melibatkan proses fisik yang bertujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan minyak dalam limbah. Beberapa proses pengolahan yang berlangsung pada tahap ini ialah screen and grit removal, equalization and storage, serta oil separation.
2.    Pengolahan Tahap Pertama (Primary Treatment)
Pengolahan tahap pertama memiliki tujuan yang sama dengan pengolahan awal. Letak perbedaannya ialah pada proses yang berlangsung. Proses yang terjadi ialah neutralization, chemical addition and coagulation, flotation, sedimentation, dan filtration.
3.    Pengolahan Tahap Kedua (Secondary Treatment)
Tahap kedua dirancang untuk menghilangkan zat terlarut dari limbah yg tak dapat dihilangkan dgn proses fisik. Peralatan yang umum digunakan pada pengolahan tahap ini ialah activated sludge, anaerobic lagoon, tricking filter, aerated lagoon, stabilization basin, rotating biological contactor, serta anaerobic contactor and filter.


4.    Pengolahan Tahap Ketiga (Tertiary Treatment)
Proses-proses yang terlibat dalam pengolahan air limbah tahap ketiga ialah coagulation and sedimentation, filtration, carbon adsorption, ion exchange, membrane separation, serta thickening gravity or flotation. pada proses ini dilakukan pemisahan secara kimia untuk lebih memurnikan air yang belum sepenuhnya bersih.
5.    Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)
Lumpur yang terbentuk sebagai hasil keempat tahap pengolahan sebelumnya kemudian diolah kembali melalui proses digestion or wet combustion, pressure filtration, vacuum filtration, centrifugation, lagooning or drying bed, incineration, atau landfill.
Referensi:
http://sripurwanti.blogspot.com/2013/03/pengolahan-air-limbah.html
Pertemuan Ke 8
A.   Metode Pengelolahan Air Limbah Secara Biofilter
Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm atau biofilter tercelup dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam reaktor biologis yang di dalamnya diisi dengan media penyangga untuk pengebangbiakan mikroorganisme dengan atau tanpa aerasi. Untuk proses anaerobik dilakukan tanpa pemberian udara atau oksigen. Posisi media biofilter tercelup di bawah permukaan air. istem biofilm yang yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada medium, lapisan alir limbah dan lapisan udara yang terletak diluar. Senyawa polutan yang ada di dalam air limbah, misalnya senyawa organik (BOD, COD), amonia, fosfor dan lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang melekat pada permukaan medium.
Pada saat yang bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air limbah, senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilkan akan diubah menjadi biomasa. Sulpai oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya pada sistem RBC, yakni dengan cara kontak dengan udara luar pada sistem “Trickling Filter” dengan aliran balik udara. Sedangkan pada sistem biofilter tercelup, dengan menggunakan blower udara atau pompa sirkulasi. Jika lapiasan mikrobiologis cukup tebal, maka pada bagian luar lapisan mikrobiologis akan berada dalam kondisi aerobik sedangkan pada bagian dalam biofilm yang melekat pada medium akan berada dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan terbentuk gas H2S, dan jika konsentrasi oksigen terlarut cukup besar, maka gas H2S yang terbentuk tersebut akan diubah menjadi sulfat (SO4) oleh bakteri sulfat yang ada di dalam biofilm.
Selain itu, pada zona aerobik amonium akan diubah menjadi nitrit dan nitrat dan selanjutnya pada zona anaerobik nitrat yang terbentuk mengalami proses denitrifikasi menjadi gas nitrogen. Karena di dalam sistem bioflim terjadi kondisi anaerobik dan aerobik pada saat yang bersamaan, maka dengan sistem tersebut proses penghilangan senyawa nitrogen menjadi lebih mudah.
Referansi:
https://www.google.com/amp/s/instalasilimbah.wordpress.com/2016/11/26/pengolahan-air-   limbah-dengan-proses-biofilter/amp/
Pertemuan Ke 9
A.   Metode Pengelolahan Air Limbah Dengan Metode Lumpur Aktif
Proses pengolahan limbah dengan metode Biologi adalah metode yang memanfaatkan mikroorganisme sebagai katalis untuk menguraikan material yang terkandung di dalam air limbah. Mikroorganisme sendiri selain menguraikan dan menghilangkan kandungan material, juga menjadikan material yang terurai tadi sebagai tempat berkembang biaknya. Metode pengolahan lumpur aktif (activated sludge) adalah merupakan proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan proses mikroorganisme tersebut.
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal abad 19. Sejak itu proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik sekunder secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan (Gariel Bitton, 1994).
Anna dan Malte (1994) berpendapat keberhasilan pengolahan limbah secara biologi dalam batas tertentu diatur oleh kemampuan bakteri untuk membentuk flok, dengan demikian akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah ekosistem yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan organisme-organisme lain. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI) dan Stirrd Sludge Volume Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari bentuk flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor = S). Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan bahwa proses lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung pada pembentukan flok lumpur aktif yang terbentuk oleh mikroorganisme (terutama bakteri), partikel inorganik, dan polimer exoselular. Selama pengendapan flok, material yang terdispersi, seperti sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok. Pembentukan flok lumpur aktif dan penjernihan dengan pengendapan flok akibat agregasi bakteri dan mekanisme adesi. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa flokulasi dan sedimentasi flok tergantung pada hypobisitas internal dan eksternal dari flok dan material exopolimer dalam flok, dan tegangan permukaan larutan mempengaruhi hydropobisitas lumpur granular dari reaktor lumpur anaerobik.
Frank et all (1996) mencoba menggambarkan bahwa dalam sistem pengolah lumpur aktif baik untuk domestik maupun industri mengandung 1-5% padatan total dan 95-99% bulk water (liqour ?). Pembuangan kelebihan lumpur merupakan proses yang mahal, dilakukan dengan mengurangi volume lumpur melalui proses pengepresan (dewatering). Pada bagian lain dinyatakan pula bahwa konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam bentuk Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif. akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah atau melalui penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan fosfor. Jumlah besi dalam lumpur aktif akan berkurang setelah memasuki kondisi anaerobik dan mungkin berasosiasi dengan adanya aktifitas bakteri heterotrofik. Berkurangnya fosfor dalam lumpur aktif dapat menyebabkan fosfor terlepas kedalam air. Jika ini terjadi merupakan potensi untuk terjadinya eutrofikasi pada perairan.
Dewasa ini metode lumpur aktif merupakan metode pengolahan air limbah yang paling banyak dipergunakan, termasuk di Indonesia, hal ini mengingat metode lumpur aktif dapat dipergunakan untuk mengolah air limbah dari berbagai jenis industri seperti industri pangan, Perhotelan, Rumah tinggal, Sekolah, bahan Pabrik dan lain sebaginya.
Dengan menerapkan sistem ini didapatkan air bersih yang tidak lagi mengandung senyawa organik beracun dan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Air tersebut dapat dipergunakan kembali sebagai sumber air untuk kegiatan industri selanjutnya. Diharapkan pemanfaatan sistem daur ulang air limbah akan dapat mengatasi permasalahan persediaan cadangan air tanah demi kelangsungan kegiatan industri dan kebutuhan masyarakat akan air.
Referensi:
https://enilf29.wordpress.com/2014/01/20/pengolahan-limbah-dengan-metode-lumpur-aktif/

Posting Komentar

0 Komentar