1. Pengertian KVA
Kekurangan vitamin A adalah merupakan masalah kesehatan utama di negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia. KVA terutama sekali mempengaruhi anak
kecil, diantara mereka yang mengalami defisiensi dapat mengalami xerophthalmia
dan dapat berakhir menjadi kebutaan, pertumbuhan yang terbatas, pertahanan
tubuh yang lemah, eksaserbasi infeksi serta meningkatkan resiko kematian. Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih
merupakan masalah gizi utama. Meskipun KVA tingkat berat (xerophthalmia) sudah
jarang ditemui, tetapi KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum
menampakkan gejala nyata, masih menimpa masyarakat luas terutama kelompok
balita. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar
vitamin A dalam darah di laboratorium (Pratiwi* 2013).
2. Penyebab Masalah Kva
- Penyebab kekurangan vitamin A
Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena
“gunung es” yaitu masalah xeropthalmia yang hanya sedikit tampak dipermukaan.
Padahal KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya kadar vitamin A dalam
darah masih merupakan masalah besar yang perlu mendapat perhatian. Hal ini
menjadi lebih penting lagi, karena erat kaitannya dengan masih tingginya angka
penyakit infeksi dan kematian pada balita. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa
KVA sangat berhubungan dengan tingkat infeksi terutama pada balita. Yang
nantinya juga sangat berpengaruh pada status gizi, status kesehatan, angka morbiditas
dan mortalitas balita (Zulkifli and
Kes 2007).
3. Prevalensi dan indikator
terjadinya KVA
Angka prevalensi kejadian kurang vitamin A menurut Pratiwi (2013)
di beberapa daerah di Indonesia menurut beberapa survey adalah sebagai berikut
:
1. Survei nasional pada xeroftalmia I tahun 1978
menunjukkan angka-angka xeroftalmia di Indonesia sebesar 1,34% atau sekitar
tiga kali lipat lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (X16
< 0,5%).
2. Pada tahun 1992 survei nasional pada xeroftalmia II dilaksanakan,
prevalensi KVA mampu diturunkan secara berarti dari 1,34% menjadi 0,33%. Namun secara
subklinis, prevalensi KVA terutama pada kadar serum retinol dalam darah (<
20 mcg/100 ml) pada balita sebesar 50%, ini menyebabkan anak balita di
Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia dan menurunnya tingkat
kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Akibatnya menjadi
sangat tergantung dengan kapsul vitamin A dosis tinggi.
3. Menurut hasil survey pemantauan status gizi dan kesehatan tahun
1998-2002, yang menunjukkan bahwa sampai tahun 2002, sekitar 10 juta (50%) anak
Indonesia terancam kekurangan vitamin A, karena tidak mengkonsumsi makanan
mengandung vitamin A secara cukup.
4. Defisiensi vitamin A
diperkira-kan mempengaruhi jutaan anak di seluruh dunia. Sekitar
250.000-500.000 anak-anak di negara berkembang menjadi buta setiap tahun karena
kekurangan vitamin A, dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara dan Afrika.
Dengan tingginya prevalensi kekurangan vitamin A, WHO telah menerapkan beberapa
inisiatif untuk suplementasi vitamin A di negara-negara berkembang. Beberapa
strategi termasuk asupan vitamin A melalui kombinasi pemberian ASI, asupan
makanan, fortifikasi makanan, dan suplemen. Melalui upaya WHO dan
mitra-mitranya, yang diperkirakan 1,25 juta kematian sejak 1998 di 40 negara
karena kekurangan vitamin A telah dihindari.
5.
Sementara itu pada Mei 2003
berdasarkan data WHO ditemukan bahwa hingga kini masih ditemukan 3 propinsi
yang paling banyak kekurangan vitamin A yaitu : Propinsi Sulawesi Selatan
tingkat prevalensi hingga 2,9%, propinsi Maluku 0,8% dan Sulawesi Utara sebesar
0,6%.
Indikator terjadinya KVA
Penyebab utama dari KVA di Negara
berkembang adalah rendahnya asupan vitamin A dan rendahnya bioavaibilitas dan
vitamin A yang dikonsumsi (sayur-sayuran dan buah-buahan). Factor yang turut
berpengaruh adalah meningkatnya kebutuhan akan vitamin A pada kelompok umur
tertentu (masa balita, ibu hamil dan menyusui) serta terjadinya infeksi.
4. Cut off point,
host (populasi rentan), agent (determinan)
·
terdapat variasi cut-off
point yang lebar yang setara dengan serum retinol <20 μg/dL. Studi di
Indonesia19 pada anak umur 3-6 tahun dengan cut-off point <0,69
μmol/L (Se=75, Sp=63), sedangkan studi di Kepulauan Marshall20 pada anak umur
1-5 tahun dengan cut-off point <0,77 μmol/L (Se=96, Sp=88).
Penelitian pada ibu hamil di Malawi21 mendapatkan cut-off point 1,00 μmol/L
(Se=88, Sp=95) dan penelitian di Indonesia22 pada ibu menyusui mendapatkan cut-off
point <1,29 μmol/L (Se=72, Sp=70). Penelitian di Kenya23 pada wanita
umur 16-45 tahun menunjukkan koefiesien korelasi yang tinggi (r = 0,88) dengan cut-off
point <0,77 μmol/L (Se=91, Sp=94) (Zulkifli and
Kes 2007).
Walaupun dengan nilai cut-off point dengan
sebaran berbeda tetapi dengan nilai Se dan Sp yang cukup tinggi menunjukkan
hubungan yang erat antara serum retinol dan RBP. Perbedaan cut-off point tersebut
karena perbedaan tingkat kejenuhan (saturasi) RBP. Ada dua jenis RBP yaitu
holo-RBP dan apo-RBP. Holo-RBP adalah RBP yang mengikat retinol sedangkan
apo-RBP adalah RBP yang tidak sedang mengikat retinol. Semakin tinggi holo-RBP
semakin tinggi tingkat kejenuhan RBP.9 Tingkat kejenuhan RBP ini bervariasi di
setiap masyarakat sehingga cut-off point dari beberapa penelitian
tersebut juga berbeda (Zulkifli and
Kes 2007).
·
Host pada KVA antara lain:
a.
Kelompok umur
yang terutama mudah mengalami kekurangan vitamin A adalah kelompok bayi usia
6-11 bulan dan kelompok anak balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun).
b.
Anak dengan Berat Badan Lahir Rendah (BB < 2,5 kg).
c.
Anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2
tahun.
d.
Anak yang tidak mendapat MP-ASI yang cukup baik kualitas maupun kuantitas
e.
Anak kurang gizi atau dibawah garis merah (BGM) dalam KMS.
f.
Anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, Tuberkulosis (TBC),
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia dan kecacingan.
g.
Frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas/pelayanan kesehatan
(untuk mendapatkan kapsul vitamin A dan imunisasi). Defisiensi vitamin A
primer disebabkan oleh kekurangan vitamin tersebut, sedangkan defisiensi
sekunder karena absorpsi dan utilisasinya yang terhambat (Zulkifli and
Kes 2007).
Agent
disebabkan
oleh unsur nutrisi dimana bahan makanan atau asupan yang tidak memenuhi standar
gizi yang ditentukan(Zulkifli and Kes 2007).
5. Pencegahan dan
penanggulangan KVA
Prinsip dasar untuk mencegah dan menanggulangi masalah KVA adalah
menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh. Selain itu perbaikan kesehatan
secara umum turut pula memegang peranan (Pratiwi* 2013).
Menurut Pratiwi (2013) dalam upaya menyediakan vitamin A yang
cukup untuk tubuh, ditempuh kebijaksanan sebagai berikut:
1.
Meningkatkan konsumsi sumber vitamin A alami melalui penyuluhan
2.
Menambahkan vitamin A pada bahan makanan yang dimakan oleh golongan sasaran
secara luas (fortifikasi)
3. Distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi secara berkala
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui
proses komunikasi-informasi-edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman dan
langgeng. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak
nyata. Selain itu kegiatan fortifikasi dengan vitamin A masih bersifat rintisan
. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian
kapsul vitamin A dosis tinggi (Depkes RI, 2000) dikutip dari (Pratiwi* 2013).
Pemberian kapsul vitamin A terutama pada kasus gizi kurang pada
balita yang juga disertai gejala xerophtalmia. Xerophthalmia adalah kelainan
mata akibat kekurangan vitamin A, terutama pada balita dan sering ditemukan pada
penderita gizi buruk dan gizi kurang. Kelainan ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang telah dapat ditangani sejak tahun 2006 (studi gizi mikro di 10
provinsi), namun KVA pada balita dapat berakibat menurunnya daya tahan tubuh
sehingga dapat meningkatkan kesakitan dan kematian. Untuk itu suplementasi
vitamin A tetap harus diberikan pada balita 6-59 bulan, setiap 6 bulan,
dianjurkan pada bulan kampanye kapsul vitamin A yaitu pada bulan Februari dan
Agustus. Kapsul vitamin A juga harus didistribusikan pada balita di daerah
endemik campak dan diare (Pratiwi* 2013).
Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa cakupan
pemberian kapsul vitamin A secara nasional pada anak balita sebesar 69,8 persen
. Terjadi disparitas antar provinsi dengan jarak 49,3 persen sampai 91,1
persen. Cakupan nasional ini menurun dari 71,5 persen. Sementara, pada tahun
2007 hanya 44,6 persen ibu nifas mendapat suplementasi vitamin A dan meningkat
menjadi 52,2 persen pada tahun 2010 (Kemenkes, 2010) dikutip dari (Pratiwi* 2013).
DAFTAR
PUSTAKA
Pratiwi*,
Yunita Satya. 2013. “Kekurangan Vitamin a (Kva) Dan Infeksi.” Kesehatan
3(2): 7.
Zulkifli, Andi, and M Kes.
2007. “Masalah Akibat.”
0 Komentar