MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR “NEGLECTED DISEASE FILARIASIS”


MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
“NEGLECTED DISEASE FILARIASIS”


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrokatuh
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan atas rahmat, hidayah dan karunia Allah SWT dan sholawat serta salam kepada Rasullullah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Neglected Disease Filariasis” dengan baik.
Makalah ini sebagai salah satu syarat untuk sebagai syarat mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular di Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako.
Makalah ilmiah ini telah kami susun secara maksimal atas bantuan dari berbagai pihak sehingga Makalah ini bisa selesai dengan lancar. Untuk itu, kami selaku penyusun, banyak berterimakah kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan supportnya selama ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
    Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini memberi manfaat untuk masyarakan maupun inpirasi terhadap pembaca.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR   ……………………………………………………….. i
DAFTAR ISI              …………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………1
A. Latar Belakang            ……………………………………….......….. 1
B. Rumusan Masalah           ………………………………………......... 2
C. Tujuan Penulisan          ………………………………………........... 2
BAB II PEMBAHASAN      ………………………………………..... ..........3
A. Definisi Filariasis            ……………………………………........... 3
B. Epidemiologi Penyakit berdasarkan Orang, waktu dan Tempat ........ 3
C. Riwayat Alamiah Penyakit       …………………  …………………. 4
D. Rantai Penularan Penyakit Filariasis       …………………………….6
E. Upaya Pencegahan Filariasis       ……………………………........... 9
F. Pengawasan Penyakit Filariasis       ………………………..............10
G. Pengobatan Penyakit Filariasis       ..............................................11
BAB III PENUTUP         ……………………………………………...........13
A. Simpulan           …………………………………………………….....13
B. Saran           …………………………………………………………...15
DAFTAR PUSTAKA          …………………………………………...........16


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua yang paling melernahkan yang dikenal di dunia. Penyakit filariasis lymfatik merupakan penyebab kecacatan menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental. Di Indonesia, mereka yang terinfeksi filariasis bisa terbaring di tempat tidur selama lebih dari lima mingggu per tahun, karena gejala klinis akut dari filariasis yang mewakili 11% dari masa usia produktif. Untuk keluarga miskin, total kerugian ekonomi akibat ketidakmampuan karena filariasis adalah 67%dari dari total pengeluaran rumah tangga perbulan.
Data WFIO, diperkirakan 120 juta orang di 83 negara di dunia terinfeksi penyakit filariasis dan lebih dari 1,5 milyar penduduk dunia (sekitar 20% populasi dunia) berisiko terinfeksi penyakit ini. Dari keseluruhan penderita, terdapat dua puluh lima juta penderita laki - laki yang mengalami penyakit genital (umumnya menderita hydrcocele) dan hampir lima bclas juta orang, kebanyakan wanita, menderita lymphoedema atari elephantiasis pada kakinya. Sekitar 90% infeksi disebabkan oleh Wucheria Bancrofti, dan sebagian besar sisanya disebabkan Brugia Malayi. Vektor utama Wucheria Bancrofti adalah nyamuk Culex, Anopheles, dan Aedes. Nyamuk dari spesies Mansonia adalah vektor utama untuk parasit Brugarian, namun di beberapa area, nyamuk Anopheles juga dapat menjadi vektor penularan filariasis. Parasit Brugarian banyak terdapat di daerah Asia bagian selatan dan timur terutama India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan China.
Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 di iaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/kota. Hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/ lcota yang ditindaklanjuti dengan survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 kabupaten/ kotaendemis dan 135 kabupaten/ kota nonendemis.
B.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan filariasis?
2.    Bagaimana epidemiologi penyakit filariasis?
3.    Bagaimana riwayat alamiah penyakit filariasis?
4.    Bagaimana rantai penularan penyakit filariasis?
5.    Apa upaya pencegahan filariasis?
6.    Bagaimana pengawasan penyakit filariasis?
7.    Bagaimana penanggulangan filariasis?
C.   Tujuan
1.      Untuk mengetahui filariasis
2.      Untuk mengetahui epidemiologi penyakit filariasis
3.      Untuk mengetahui riwayat alamiah penyakit filariasis
4.      Untuk mengetahui rantai penularan penyakit filariasis
5.      Untuk mengetahui upaya pencegahan filariasis
6.      Untuk mengetahui pengawasan penyakit filariasis
7.      Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan filariasis





BAB II
PEMBAHASAN
A.   Definisi Filariasis
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit rnenular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan dituiarkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,lengan, payudara dan alat kelamin.
B.   Epidemiologi Penyakit Berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu
1.    Menurut Orang
Orang yang dianggap berisiko terkena penyakit filariasis adalah:
Ø  Menyerang semua jenis umur
Ø  Laki-laki memiliki risiko 4,7 kali lebih besar dari pada perempuan
Ø  Transmigran lebih berisiko
Kejadian filariasis terjadi pada laki-laki dan perempuan disebabkan karena kegiatan yang dilakukan pada malam hari, hal ini dikarenakan aktifitas nyamuk vector filariasis umumnya pada malam hari (nokturna).
2.    Menurut Tempat
Saat ini, diperkirakan larva cacing tersebut telah menginfeksi lebih dari 700 juta orang di seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat di regional Asia Tenggara. (WHO, 2009). Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis terhadap filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia merupakan salah satu amper di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak dan wilayah yang luas namun memiliki masalah filariasis yang kompleks. Di Indonesia, kejadian filariasis dari tahun 2000-2009 telah mencapai 11.914 kasus.
Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Dari ketiga jenis cacing amperl penyebab filariasis, Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan Wuchereria bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua.
Pada tahun 2012 ditemukan kasus baru Filariasis di Provinsi NTT sebesar 414 kasus, dimana kasus yang tertinggi ditemukan di Kabupaten Sumba Barat Daya yaitu sebesar 313 kasus.
3.    Menurut Waktu
Filariasis  menyebar  hampir  di  seluruh  wilayah    Indonesia.  Dari  tahun  ke  tahun  jumlah  provinsi  yang  melaporkan  kasus  filariasis  terus bertambah. Pada tahun 2000 ada 6.233 kasus kronis filariasis dari 26 provinsi di Indonesia. Pada tahun 2005, tercatat 8.243 penduduk mengalami kasus kronis filariasis di 33 provinsi di Indonesia. Sampai tahun 2009 tercatat sudah terjadi 11.914 kasus kronis filarisasi yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.  Bahkan  di  beberapa    daerah  mempunyai  tingkat  endemisitas  yang  cukup  tinggi.
C.      Riwayat Alamiah Penyakit
1.    Masa Inkubasi dan klinis
Masa inkubasi pada manusia 3-15 bulan setelah gigitan nyamuk yang menjadi vector. Manifestasi klinis sebagai infeksi W.bancrofti terbentuk beberapa bulan higga beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimptomatik selama hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala akut biasanya mengeluh demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Mula–mula cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe terutama di daerah kelenjar limfe, testes, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma. Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartner’s syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia
Ø  Gejala yang sering dijumpai pada orang yang terinfeksi B.malayi adalah lymphadenitis dan lymphangitis yang berulang–ulang disertai demam.
Ø  Perbedaan utama antara infeksi W.bancrofti dan B.malayi terletak pada klasifikasi ureter dan ginjal. Klasifikasi ureter dan ginjal tidak ditemukan pada infeksi B.malayi.
2.    Diagnosis
a.      Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi dan tes provokatif DEC.
Diferensiasi spesies dan stadium filaria : menggunakan pelacak DNA yang spesies spesifik dan antibodi monoklonal.
b.      Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi ( USG ) pada skrotum dan kelenjar getah bening ingunial. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan adanya zat radioaktif.
3.    Diagnosis imunologi
Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test ( ICT),  menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik.
D.   Rantai Penularan Penyakit Filariasis
Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang didapatkannya ketika menggigit penderita filariasis), akan melepaskan selubung tubuhnya yang kemudian bergerak menembus perut tengah lalu berpindah tempat menuju otot dada nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I (L1). L1 kemudian berkembang hingga menjadi L3 yang membutuhkan waktu 12–14 hari. L3 kemudian bergerak menuju probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang mengandung L3 tersebut menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh orang tersebut. Setelah tertular L3, pada tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe dimana L3 akan tumbuh menjadi cacing dewasa, dan berkembang biak menghasilkan mikrofilaria baru sehingga bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Aliran sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan menumpuk disuatu lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama pada daerah kaki, lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri karena kurang terawatnya bagian lipatan-lipatan kulit yang mengalami pembengkakan tersebut.
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu:
1.      Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis (silent infection). Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2008).
2.      Vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor W. Bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti tipe perkotaan.
3.      Manusia yang rentan terhadap filariasis. Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Perilaku dan kebiasaan manusia dapat mempermudah penularan filariasis. Aktivitas pada malam hari dengan beragam kegiatan seperti meronda, tidak menggunakan pakaian panjang atau obat nyamuk dapat memperbesar risiko tertular filariasis (Febrianto, 2008). Berdasarkan hasil penelitian dari Ardias (2012) membuktikan bahwa kebiasaan keluar rumah pada malam hari berisiko menderita filariasis dan berdasarkan penelitian Nasrin (2007), melakukan pekerjaan pada jam-jam nyamuk mencari darah juga meningkatkan risiko tertular filariasis.
Jika nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal dikulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan demam berdarah, cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.
Larva L3 B. Malayi dan B. Timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan W. bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup selama 5–7 tahun di dalam kelenjar getah bening. Hal ini menunjukkan bahwa sulit terjadi penularan filariasis dari nyamuk ke manusia. Disamping itu, kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Kepadatan vektor, suhu, dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban dipengaruhi oleh kondisi meteorologi.
Banyak spesies yang bersifat musiman, dengan puncak kepadatan nyamuk dewasa pada pertengahan musim panas dan tidak ada ada musim dingin, sedangkan di negara tropis bisa bersifat aktif sepanjang tahun.Suhu dan kelembaban menguntungkan pertahanan hidup nyamuk dewasa untuk menjadi padat (Achmadi, 2012). Suhu dan kelembaban sangat berpengaruh umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak memiliki cukup waktu untuk berkembang menjadi larva infektif (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk W. bancrofti antara 10-14 hari, sedangkan B. malayi dan B. timori antara 8-10 hari. Curah hujan dan kecepatan arah angin serta suhu lingkungan harus diperhatikan karena bisa berperan dalam perkembangbiakan nyamuk di wilayah perkotaan. Namun, kecepatan dan arah angin bukan merupakan pengukuran yang utama. Pengukuran pada ketinggian tanah (2-10 m) dapat membantu menjelaskan mengapa spesies tertentu terkumpul pada daerah yang jauh dari tempat perkembangbiakan.
Selain itu, periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap risiko penularan. Di Indonesia filariasis dapat ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk, yang hidup aktif pada waktu siang atau malam hari. Sesuai dengan ditemukannya mikrofilaria di dalam darah tepi, dikenal periodiknokturnal, subperiodik diurnal dan subperiodik nocturnal.
a.    Periodik nokturnal (nocturnal periodic): mikrofilaria hanya ditemukan di dalam darah pada waktu malam hari.
b.    Subperiodik diurnal (diurnal subperiodic): mikrofilaria terutama dijumpai siang hari, jarang ditemukan malam hari.
c.    Subperiodik nokturnal (nocturnal subperiodik): mikrofilaria terutama dijumpai malam hari, jarang ditemukan siang hari.
E.      Upaya Pencegahan Filariasis
Pencegahan filariasis dapat dilwakukan dengan cara yaitu:
a.    Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk).
b.    Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan ternpat menggigit nyamuk serta ternpat perkembangbiakannya.
c.    Pengendalian vektor jangka panjang yang rnungkin memerlukan perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkantempat perindukan nyamuk.
d.    Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine citrate.
F.         Pengawasan penyakit Filariasis
1.    POPM
POPM ini merupakan program pemerintah yang telah digalakkan sejak tanggal 1 Oktober 2015. POMP merupakan singkatan dari pemberian obat pencegahan massal. POPM ini akan dilakukan oleh pemerintah di kabupaten maupun kota yang bersiko terkena penyakit kaki gajah. Tidak hanya itu saja kota yang memiliki banyak penderita kaki gajah juga menjadi sasaran pemerintah dalam melakukan POPM. Obat yang diberikan pemerintah ini akan dilakukan selama setahun sekali dengan rentang waktu selama lima tahun berturut-turut. Obat pemerintah yang diberikan adalah jenis Albendazole yang akan diberikan kepada penduduki Indonesia sebanyak 105 juta jiwa. Manfaat dari obat itu diantaranya akan mematikan cacing Filaria dewasa dan juga memandulkan virus yang dimiliki oleh cacing Filaria dewasa dimana cacing itu merupakan penyabab dari penyakit kaki gajah. Obat Albendazole juga bermanfaat untuk membunuh cacing yang ada di dalam perut manusia misalnya saja adalah cacing tambang, cacing cambuk, cacing gelang sampai dengan cacing kremi. Cacing-cacing tersebut juga merupakan cacing yang berbahaya jika berada di dalam tubuh manusia.
Masyarakat yang boleh meminum obat itu adalah masyarkat dengan umur 2 sampai dengan 70 tahun. Untuk anak di bawah usia 2 tahun, ibu hamil, ibu menyusui, orang memiliki penyakit berat, penyakit ginjal, penyakit epilepsi, steps atau kejang, demam tinggi, batuk darah, kanker dan gizi buruk tidak bisa mengkonsumsi obat Albendazole yang diberikan oleh pemerintah. Untuk penderita penyaki kaki gajah yang klinis, pederita darah tinggi, gangguan jantung dan gangguan hati pengkonsumsian obat tersebut harus dengan pengawasan dan pemantauan dari dokter.

Dosis Pemberian Obat Berdasarkan Umur
Umur
DEC
Albendazole
≥ 14 tahun /dewasa
3 tablet
1 tablet
6 – 14 tahun
2 tablet
1 tablet
2 – 5 tahun
1 tablet
1 tablet
Catatan: semua tablet diminum dalam satu kali waktu
Untuk menghindari muntah saat minum obat
Obat diminum dengan air satu per satu
Albendazole bisa dikunyah atau dihancurkan sebelum diminum.
2.    Vaksin Kaki Gajah
Program pemerintah lainnya yang sedang digalakkan adalah dengan memberikan vaksin kaki gajah. Pemberian vaksin ini dinggap adalah cara efektif untuk mengatasi penyebaran kaki gajah. Vaksin ini hanya bisa diberikan kepada orang yang belum terkena kaki gajah atau belum terinfeksi dengan cacing Filarial. Vaksin itu bisa dengan suntikan atau bisa dengan menggunakan obat.
G.       Pengobatan Penyakit Filariasis
Obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin sitrat ( DEC ). DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis bankrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk filaria brugia, dosis yang dianjurkan adalah 5mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual hingga muntah. Pada pengobatan filariasis brugia, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama.
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC.
Pengobatan kombinasi dapat juga dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun. Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Yang dapat diobati adalah stadium mikrofilaremia, stadium akut, limfedema, kiluria, dan stadium dini elefantiasis.
Terapi suportif berupa pemijatan dan pembebatan juga dilakukan di samping pemberian antibiotika dan corticosteroid, khususnya pada kasus elefantiasis kronis. Pada kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan pembedahan.



BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
1.    Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit rnenular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan dituiarkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres
2.    Menyerang semua jenis umur, laki-laki memiliki risiko 4,7 kali lebih besar dari pada perempuan dan transmigran lebih berisiko. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan Wuchereria bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua. Tahun 2009 tercatat sudah terjadi 11.914 kasus kronis filarisasi yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.
3.    Masa inkubasi pada manusia 3-15 bulan setelah gigitan nyamuk yang menjadi vector.
4.    Rantai penularan Penyakit Filariasis apabila ada 3 unsur yaitu:
a.  Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3).
b. Vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor W.
c. Manusia yang rentan terhadap filariasis. Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Perilaku dan kebiasaan manusia dapat mempermudah penularan filariasis.

5. Upaya pencegahan Penyakit Filariasi, yaitu :
a. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk).
b. Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan ternpat menggigit nyamuk serta ternpat perkembangbiakannya.
c. Pengendalian vektor jangka panjang yang rnungkin memerlukan perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkantempat perindukan nyamuk.
d. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine citrate.
 6.  Pengawasan Penyakit Filariasi melalui POPM. POMP ini merupakan program pemerintah yang telah digalakkan sejak tanggal 1 Oktober 2015. POMP merupakan singkatan dari pemberian obat pencegahan massal. POPM ini akan dilakukan oleh pemerintah di kabupaten maupun kota yang bersiko terkena penyakit kaki gajah dan juga melalui Vaksin Kaki Gajah Program pemerintah lainnya yang sedang digalakkan. Vaksin ini hanya bisa diberikan kepada orang yang belum terkena kaki gajah atau belum terinfeksi dengan cacing Filarial.
  7. Pengobatan Penyakit Filariasis yaitu pemberian obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin sitrat ( DEC ). DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan ektoparasit. Terapi suportif berupa pemijatan dan pembebatan juga dilakukan di samping pemberian antibiotika dan corticosteroid, khususnya pada kasus elefantiasis kronis.

B.        Saran
Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca khususnya mahasiswa kesehatan masyarakat dalam memahami kasus penyakit filariasis.



DAFTAR PUSTAKA
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI. 2,010. Filariasis di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 1,Juli 2010.

WHO. Epidemiology Limphatic Filariasis. Tahun 2010 [Online]. Dari : hhtp://www.who.int.  [1Februari 2012].

World Health Organization Regional Office for South-East Asia. Epidemiology of Filariasis. Tahun 2010, [Online], Dari : http://www.filariasis.org [1 Februari 2012].

Guntara RA. Sistem Informasi Geografis. [Online], Dari http://www.ittelkom.ac.id [3 Februari 2012].

http://epidemiologiunsri.blogspot.com/2011/11/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html?m=1

http://cecilialudji.blogspot.com/2015/03/epidemiologi-filariasis.html?m=1

Posting Komentar

0 Komentar