Penyebab kurang Vitamin A, Tanda dan Gejala Kurang Vitamin A



1.     Pengertian KVA
Kurang vitamin A (KVA) adalah salah satu masalah gizi yang mengganggu kondisi kesehatan akibat kurangnya konsumsi makanan, terutama makanan sumber vitamin A. Kondisi ini menyebabkan peningkatan yang bermakna terhadap morbiditas dan mortalitas pada anak-anak serta ibu hamil. Penentuan status vitamin A penting untuk melihat kadar vitamin A di dalam tubuh seseorang. Tanumihardjo, 2004 di kutip dalam (Permaesih, 2008).
Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan akan menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan, dimana keluarga tidak mampu memberikan makan yang cukup.
Kurang vitamin A dapat menyebabkan balita menjadi balita rentan terhadap penyakit infeksi (Baliwati dkk, 2010).
2.     Penyebab Masalah KVA
Penyebab kekurangan vitamin A tidak hanya ditimbulkan dari faktor
kesehatan saja, tetapi juga faktor lainnya. Sediaoetama (2008) merangkum factor penyebab tersebut menjadi bagan berikut :
Penyebab kekurangan vitamin A pada balita terbagi menjadi dua faktor,
yaitu faktor penyebab langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab langsung
adalah kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro-vitamin A
(karoten), hal ini biasanya disebabkan karena kebiasaan balita yang susah untuk menerima makanan baru, terutama sayur dan buah yang banyak mengandung vitamin; tidak diberi kolostrum sesaat setelah melahirkan dan disapih lebih awal; tidak memperoleh ASI; pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A, sedangkan faktor penyebab tidak langsungnya adalah kemiskinan; ketersediaan pangan sumber vitamin A; sosial budaya; pendidikan orang tua; pendapatan keluarga; jumlah anak dalam keluarga; pola asuh terhadap anak; pelayanan kesehatan (Sediaoetama, 2008).
3.     Prevalensi KVA
Survei nasional Xerophtalmia 1978 menemukan prevalensi X Ib (Bitot spot) pada anak Balita 1,34%. Sekitar 14 tahun kemudian, yakni pada tahun 1992, prevalensi xerophtalmia dapat diturunkan menjadi 0,35%, Angka ini lebih rendah dari kriteria yang ditetapkan WHO sebagai masalah kesehatan masyarakat yakni Xlb > 0,5% (Herman, 2007).
Sumber :  Herman, S. (2007). Masalah kurang vitamin a (kva) dan prosper penanggulangannya

Jika pada survei tahun 1992, masih ditemukan 50% anak balita dengan serum retinol < 20ug/dl, maka data mutakhir dari survei gizi mikro di tujuh provinsi keadaannya sudah jauh berkurang. Prevalensi anak balita dengan serum retinol < 20ug/dl diketemukan tertinggi di Provinsi Bali yakni 16,3% yang berarti sekitar sepertiga dari angka tahun 1992. Sementara itu prevalensi terendah diketemukan di Provinsi Sumatera Selatan yakni 8,7% atau sekitar seperenam dari angka tahun 1992 (Tabel 2). Perkembangan ini sudah barang tentu menggembirakan, karena KVA pada tingkat sub klinis berhasil diturunkan dengan cukup bermakna, dan prevalensi Xerophtalmia secara umum juga rendah. Tinggjnya proporsi anak dengan serum retinol > 20ng/dl kemungkinan karena cakupan distribusi kapsul vitamin A 200.000 SI cukup tinggi yakni rata-rata 87% dengan kisaran 79,5% sampai 92,6% (Herman, 2007).
Masalah vitamin A pada balita secara klinis bukan lagi masalah kesehatan
masyarakat (prevalensi xeropthalmia < 0,5%). Hasil studi masalah gizi mikro di 10 kota pada 10 provinsi tahun 2006, diperoleh prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13%, sedangkan hasil survey vitamin A pada tahun 1992 menunjukkan prevalensi xeropthalmia sebesar 0,33% (Dinkes Kabupaten Banggai, 2013).
4.     Indikator KVA
Penurunan cadangan vitamin A dalam tubuh merupakan proses yang berlangsung lama, dimulai dengan habisnya persediaan vitamin A dalam hati, kemudian menurunnya kadar vitamin A dalam plasma, dan baru kemudian timbul disfungsi retina, disusul dengan perubahan jaringan epitel. Kadar vitamin A dalam plasma tidak merupakan kekurangan vitamin A, apabila sudah terdapat kelainan mata, maka kadar vitamin A serum sudah sangat
rendah (µg/100ml), begitu juga kadar RBP (<20µg/100ml) konsentrasi vitamin A dalam hati merupakan indikasi yang baik untuk menentukan status vitamin A. Akan tetapi biopsi hati merupakan tindakan yang mengandung risiko bahaya. Pada umumnya konsentrasi vitamin A penderita KEP rendah yaitu <15µg/gram jaringan hepar (Kemenkes RI, 2017).
Batasan dan Interpretasi pemeriksaan kadar vitamin A dalam darah adalah:
Sumber : Kemenkes RI, 2017

Penilaian status vitamin A diperlukan sebab penurunannya dalam hati menurunkan kadarnya dalam plasma sehingga bisa menyebabkan disfungsi retina. Gejala subklinis KVA yaitu gangguan sistem imun dengan angka infeksi yang makin meningkat. Gejala klinisnya yaitu xerophtalmia (dapat menyebabkan cirrhosis conjunctiva dengan tanda-tanda sering mengedip disertai bercak bitot) sehingga tampak busa yang menghilang bila dihapus dan muncul lagi. Status vitamin A diperiksa di dalam serum (serum retinol dan retinol binding protein). Penilaian status KVA menggunakan indikator plasma dan liver vitamin A (Kemenkes RI, 2017).
5.     Gambaran Klinis KVA, Konsekuensi KVA, Etiologi KVA
Kurang vitamin A akan mengakibatkan penurunan daya tahan
tubuh terhadap penyakit yang berpengaruh pada kelangsungan hidup anak. Penanggulangan masalah kurang vitamin A saat ini bukan hanya untuk mencegah kebutaan, tetapi juga dikaitkan dengan upaya memacu pertumbuhan dan kesehatan anak guna menunjang penurunan angka kematian bayi dan berpotensi terhadap peningkatan produktifitas kerja orang dewasa. Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es” yaitu masalah Xerophthalmia yang hanya sedikit tampak dipermukaan. KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paruparu, usus, mata, dan organ lain. Akan tetapi gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada mata (Kemenkes RI, 2017).
Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO/USAID UNICEF /HKI/IVACG 1996 di kutip dalam (Depkes RI, 2003) sebagai berikut:
·     XN       : Buta senja
·     XIA      : Xerosis konjungtiva (kekeringan pada selaput lendir mata)
·     XIB       : Xerosis konjungtiva disertai bercak bitot
·     X2        : Xerosis kornea (kekeringan pada selaput bening mata)
·     X3A     : Keratomalasia atau ulserasi kornea (borok kornea) kurang dari 1/3 permukaan kornea
·     XS        : Jaringan parut kornea (sikatriks/scar)
·     XF        : Fundus xeroftalmia, dengan gambaran seperti “cendol”
XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa berubah menjadi X3. X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea (optic zone cornea).
1.      Buta senja = Rabun Senja = Rabun Ayam= XN
a.      Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina.
b.      Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang
remang-remang setelah lama berada di cahaya terang
c.       Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tak dapat melihat di lingkungan yang kurang cahaya, sehingga disebut buta senja.
Untuk mendeteksi apakah anak menderita buta senja dengan cara
a.      Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut akan membentur/ menabrak benda didepannya, karena tidak dapat melihat.
b.      Bila anak belum dapat berjalan, agak sulit untuk mengatakan anak tersebut buta senja. Dalam keadaan ini biasanya anak diam memojok bila di dudukkan ditempat kurang cahaya karena tidak dapat melihat benda atau makanan di depannya.
2.      Xerosis konjungtiva = XIA
Tanda-tanda :
a.      Selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
b.      Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna kecoklatan.
3.      Xerosis konjungtiva dan bercak bitot = X1B
Tanda-tanda :
a.      Tanda-tanda xerosis kojungtiva (X1A) ditambah bercak bitot yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama di daerah celah mata sisi luar.
b.      Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai kriteria penentuan prevalensi kurang vitamin A dalam masyarakat.
Dalam keadaan berat :
a.      Tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva.
b.      Konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut.
c.       Orang tua mengeluh mata anaknya tampak bersisik
4.      Xerosis kornea = X2
Tanda-tanda :
a.      Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
b.      Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
c.       Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit
infeksi dan sistemik lain)
6.     Keratomalasia dan ulcus kornea = X3A, X3B
Tanda-tanda
a.      Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus.
b.      Tahap X3A : bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea.
c.       Tahap X3B : Bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3 permukaan
kornea.
d.      Keadaan umum penderita sangat buruk.
e.      Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah)
7.     Xeroftalmia scar (XS) = sikatriks (jaringan parut) kornea
Kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.

8.     Xeroftalmia Fundus (XF)
Dengan opthalmoscope pada fundus tampak gambar seperti cendol
9.     Pencegahan dan Penanggulangan KVA
a.       Pencegahan
Menurut Depkes RI (2003), Pencegahan KVA yaitu :
1.      Mengenal wilayah yang berisiko mengalami xeroftalmia (faktor social budaya dan lingkungan dan pelayanan kesehatan, faktor keluarga dan faktor individu)
2.      Mengenal tanda-tanda kelainan secara dini
3.      Memberikan vitamin A dosis tinggi kepada bayi dan anak secara periodik, yaitu untuk bayi diberikan setahun sekali pada bulan Februari atau Agustus (100.000 SI), untuk anak balita diberikan enam bulan sekali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus dengan dosis 200.000 SI.
4.      Mengobati penyakit penyebab atau penyerta
5.      Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk
6.      Penyuluhan keluarga untuk meningkatkan konsumsi vitamin A / provitamin A secara terus menerus.
7.      Memberikan ASI Eksklusif
8.      Pemberian vitamin A pada ibu nifas (< 30 hari) 200.000 SI
9.      Melakukan imunisasi dasar pada setiap bayi
Mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin A, Meski vitamin A hanya terdapat pada makanan hewani yang relatif mahal. tetapi masyarakat dapat memanfaatkan karotenoid yang banyak terdapat dalam sayur dan buah. Kembali masalahnya perilaku atau kebiasaan mengonsumsi buah juga belum membudaya, sementara kebiasan mengonsumsi sayur umumnya sudah membudaya di kalangan masyarakat , tetapi besar porsi serta frekuensi konsumsinya masih perlu ditingkatkan (Kiptiyah & Martufi, 2003).


b.      Penanggulangan
Program penanggulangan masalah KVA merupakan salah satu program perbaikan gizi masyarakat yang dilaksanakan secara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Kegiatan promotif dapat dilakukan melalui promosi atau penyuluhan untuk meningkatkan konsumsi makanan kaya vitamin A dan secara preventif dapat dilakukan dengan suplementasi kapsul Vitamin A dosis tinggi dan fortifikasi bahan makanan dengan Vitamin A. Deteksi dini dan pengobatan kasus Xeroftalmia adalah merupakan kegiatan secara kuratif yang bertujuan rehabilitatif untuk mencegah terjadinya dampak lebih lanjut KVA kebutaan (Depkes RI, 2003).
Upaya program penanggulangan KVA dengan suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi 200.000 SI (merah) sebanyak 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus yang ditujukan kepada anak balita (1-5 tahun) dan 1 kapsul pada ibu nifas (< 30 hari sehabis melahirkan). sasaran diperluas kepada bayi umur 6 – 11 bulan dengan pemberian kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (biru) (Depkes RI, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Baliwati.Y.F.dkk. 2010. Pengantar Pangan Dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta

Herman, S. (2007). Masalah kurang vitamin a (kva) dan prosper penanggulangannya, XVII, 40–44.

Kiptiyah, N. M., & Martufi, S. (2003). KEKURANGAN VITAMIN A PADA KELOMPOK BAY1 DAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN Dl KABUPATEN BOGOR, 26(2).

Permaesih, D. (2008). Penilaian status vitamin A, 31(2), 92–97.

Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa Dan Profesi. Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat.



LAMPIRAN


Posting Komentar

0 Komentar